12/8/07

Jejak Penuh Hikmah

''Syahadat yang ideal adalah syahadat yang melahirkan kekuatan.''

''Di atas kesulitan-kesulitan yang kita hadapi di lapangan perjuangan, ada janji-janji Allah yang sangat menggiurkan.''

''Shalat itu bukan sekadar gerakan ritual semata. Di sana kita mengisi daftar usulan proyek, di sana kita meminta.''

''Jangan hanya kagum dengan membaca sejarah yang telah dilakukan Nabi dan sahabat-sahabatnya, serta kecemerlangan pejuang-pejuang Islam di belakang beliau. Tapi kita juga harus berbuat sesuatu yang pantas dicatat sejarah.''

Kutipan di atas hanya sekadar menyegarkan kembali ingatan kita terhadap sosok almarhum Ustadz Abdullah Said, pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah dan juga pendiri majalah Suara Hidayatullah.


Laporan Utama kali ini, dalam rangka Milad majalah Suara Hidayatullah yang ke-19. kami mencoba tampil sedikit berbeda. Kami akan merekam kembali jejak penuh hikmah sosok Abdullah Said, termasuk nukilan buku berjudul KH Abdullah Said, Pokok-pokok Pikiran, Kiprah dan Perjuangannya karya Ust Manshur Salbu.
Rekaman tersebut akan kami tampilkan dalam 10 halaman. Kami yakin ada banyak teladan dan hikmah yang bisa diambil dari rekaman tersebut. Selamat mengikuti! *Dadang Kusmayadi, Mahladi/Suara Hidayatullah



Tulisan 2: 5 halaman

Rekam Jejak Sang Pelopor

Ketika Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan di Jakarta pada 17 Agustus 1945, jauh di pelosok Sulawesi Selatan, tepatnya di Desa Lamatti Rilau, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, lahirlah seorang anak dari ibu bernama Aisyah. Anak tersebut kemudian diberi nama Muhsin Kahar.
Muhsin adalah anak ketiga dari empat bersaudara: Junaid Kahar, Lukmanul Hakim Kahar, dan As'ad Kahar. Ayahnya, Kiai Abdul Kahar Syuaib adalah ulama kharismatik di Kampung Lamatti. Sang ayah lebih populer di kalangan masyarakat dengan sebutan Puang Imang (panggilan kehormatan kepada Imam di kampung) karena cukup lama menjadi imam di kampung.
Ketika masih dalam kandungan, Muhsin telah menjadi bahan perbincangan di kalangan keluarga. Sebab, usia kandungan ibunya sudah mencapai dua tahun, namun sang anak belum juga lahir.
Hanya ayahnya yang selalu mengingatkan sang ibu agar tetap bersabar menunggu kelahirannya sampai kapan pun yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta'ala (Swt).
Ketika usia kandungan memasuki tahun kedua timbul tanggapan miring bahwa mungkin yang dikandung itu bukan manusia. Mungkin buaya atau entah apa.
Sang ayah marah besar mendengar tanggapan miring seperti itu. Ada keyakinan dalam hati sang ayah bahwa anak yang dikandung itu kelak justru akan menjadi orang hebat.
Akhirnya bayi yang tadinya mencurigakan itu lahir dalam keadaan normal dan sehat layaknya bayi-bayi pada umumnya.

Hijrah ke Makassar

Di kampung halamannya Muhsin sekolah sampai kelas III (1952-1954). Ia kemudian harus meninggalkan tempat kelahirannya tercinta karena harus mengikuti sang ayah pindah ke Makassar.
Hati Muhsin merasa berat. Betapapun bersahajanya kampung itu, baginya banyak kenangan indah yang tidak mudah dilupakan. Desanya yang terletak di dataran tinggi dengan pepohonan yang rimbun selalu mengalirkan kesejukan. Apalagi jika memandang hamparan pulau-pulau di perairan Teluk Bone, memberi energi tersendiri dalam jiwanya.
Kehidupan yang dijalaninya pada awal tiba di Makassar sangat memprihatinkan. Maklum, orang tuanya tdak mempunyai pekerjaan yang mendatangkan banyak uang. Ia hanya imam sebuah masjid di Kampung Malimongan Baru. Sesekali, sang ayah memberi tuntunan agama kepada jamaah masjid itu.
Untunglah sang ibu sangat giat mencari nafkah untuk membantu membiayai anak-anak sekolah. Praktis, meskipun jauh dari memadai, kebutuhan keluarga itu tercukupi.
Di Makassar itu Muhsin banyak menyaksikan orang mabuk-mabukan dan berteriak dengan kata-kata yang tidak sedap. Sering juga terjadi perkelahian antara kelompok anak muda yang hanya disebabkan persoalan sepele.

Bintang Kelas

Setelah pindah ke Makassar, Muhsin meneruskan sekolah di kota itu. Ia diterima di kelas IV SD (dulu Sekolah Rakyat) No 30. Di SD ini ia selalu menjadi bintang kelas karena menguasai seluruh mata pelajaran termasuk menggambar. Bahkan ia pernah menjuarai lomba menggambar antar Sekolah Dasar se-Kota Besar Makassar. Ia juga sering ditugaskan gurunya menyalin pelajaran di papan tulis.
Ketika mengikuti ujian akhir SD, ia mendapat nilai tertinggi sehingga memungkinkan memilih sekolah favorit. Ia tidak memilih sekolah umum tapi sekolah agama yakni Pendidikan Guru Agama Negeri 6 Tahun (PGAN 6 Tahun). Ia memilih sekolah ini karena di samping mempelajari agama juga termasuk sekolah yang didambakan sebagai satu-satunya Pendidikan Guru Agama milik pemerintah di Indonesia Timur.
Di sini yang diterima hanya murid-murid yang berprestasi. Di sisi lain, sangat menguntungkan bagi orang-orang yang tidak mampu dari segi biaya. Siswa di sekolah ini setiap bulan mendapat tunjangan ikatan dinas (ID). Muhsin sangat senang karena sedikit mampu meringankan beban orang tuanya.
Di sekolah ini juga ia terkenal sebagai siswa yang pandai berpidato. Ia juga selalu ditunjuk menjadi ketua kelas. Dalam berbagai pertemuan ia dipercaya untuk memimpin. Ia dikenal sebagai siswa berpengetahuan luas karena sangat rajin membaca. Tunjangan ID-nya setiap bulan tidak bersisa. Semuanya dibelikan buku.
Ini berbeda dengan teman-temannya yang lebih suka membeli baju demi penampilan. Maklum, di sekolah itu bercampur antara pria dan wanita.
Muhsin memang kurang perhatian terhadap penampilan. Ia tidak malu-malu menggunakan sarung ke sekolah kalau celananya sedang dicuci. Teman-temannya sering sinis melihat kebiasaan tak lazim itu. Tapi ia cuek saja. Lagi pula peraturan soal pakaian belum seketat sekarang.


Meninggalkan Bangku Kuliah

Muhsin lulus dari PGAN 6 Tahun dengan nilai memuaskan. Karena prestasi itu ia langsung mendpat tugas belajar di IAIN Alauddin, Makassar.
Muhsin sempat menjalankan tugas belajar tersebut. Namun hanya bertahan satu tahun. Ia berhenti kuliah. Alasannya, ia merasa tidak memperoleh tambahan ilmu yang berarti. Ia telah membaca semua materi kuliah yang diberikan dosen.
Muhsin berkesimpulan bahwa kalau duduk beberapa tahun di bangku kuliah akan banyak menyita waktu dan energi, sementara hasilnya tidak seimbang dengan yang telah dikorbankan.
Hati Muhsin terusik juga ketika teman-teman kuliahnya menganggapnya sombong. Tapi prinsipnya tetap dipegang teguh. Menurutnya, kuliah banyak menyia-nyiakan waktu untuk ngobrol ngalor-ngidul antara mahasiswa dan mahasiswi. Yang diobrolkan pun tidak ada hubungannya dengan perkuliahan. Bahkan mengarah pada hal-hal yang tidak wajar dibicarakan.
Karena itu Muhsin berpendapat lebih aman jika berhenti kuliah dan aktif berorganisasi, belajar langsung kepada ulama, giat berdakwah, dan gencar membaca.


Belajar Lewat Bacaan

Jika tidak ada rapat organisasi, Muhsin pergi ke tempat favoritnya, yakni toko buku. Beberapa toko buku di Makassar kala itu, seperti Hidayat Book Store, toko Buku Rakyat, Assagaf dan Aloha, menjadi langganannya.
Ia sedih bila buku yang diminatinya tidak bisa dibeli karena uang yang dimilikinya tidak cukup. Saat itulah ia meminta kepada pemilik toko untuk menyimpan buku itu untuknya, sambil ia berusaha mencari uang untuk menebusnya.
Beruntung karyawan toko buku umumnya telah mengenal Muhsin sebagai ''si kutu buku'', sehingga mereka tidak keberatan. Kegemaran seperti itu terus berlanjut kendati telah tampil menjadi muballigh muda favorit. Hampir setiap pekan ia tampak di toko buku, menghabiskan sebagian honor dakwahnya untuk belanja buku.
Ketika telah menjadi pimpinan Pesantren Hidayatullah kegiatan membacanya semakin tinggi. Untuk membeli sekian banyak buku ia rela mengeluarkan uang sampai jutaan rupiah. Ketika waktu kembali ke Balikpapan dengan menumpang kapal PELNI, buku yang diboyongnya sampai berkardus-kardus.
Menariknya, buku-buku yang ia beli bukan melulu tentang agama tapi termasuk buku-buku manajemen, seperti buku tulisan Sondang P. Siagian. Buku pengembangan diri seperti karangan Dale Carnegie, Napoleon Hill, Norman Vincent Peale, David J.Schwartz, Herbert N. Casson, Stephen R. Covey, Gloria Steinem, John Naisbit, dan Alvin Toffler pun dibeli. Buku jurnalistik, ilmu pernapasan, pijat refleksi juga dibelinya.
Setiap hari ia membaca tiga surat kabar ibu kota: Harian Merdeka, Kompas, dan Sinar Harapan, ditambah surat kabar lokal, Manuntung dan Suara Kaltim. Majalah Tempo, Gatra, Editor, Forum Keadilan, Topik, Panji Masyarakat, Kartini, termasuk majalah Trubus dan Asri tak luput dibacanya. Apalagi waktu menulis naskah Kajian Utama di majalah Suara Hidayatullah, gairah membacanya semakin besar.
Selain membaca buku, ia juga sering mengikuti siaran radio BBC London, Voice Of America, radio Australia, dan RRI.


Belajar Lewat Masjid

Ayahnya sering mengajaknya melaksanakan shalat berjamaah dan mendengarkan ceramah di berbagai masjid. Ajakan tersebut baginya mengandung hikmah besar. Karena, di samping menjadi kebiasaan melaksanakan shalat berjamaah, juga dapat menimba ilmu dari ulama-ulama yang memberi pelajaran setiap ba'da Maghrib dan Shubuh.
Ia belajar pada ulama-ulama terkenal, seperti KH Abdul Djabbar Asyiri, yang melatihnya menghafal dan memahami hadits-hadits. Sementara Ustadz Abdul Malik Ibrahim membimbing dasar-dasar bahasa Arab.
Dan, yang mendorongnya lebih giat menggali Al-Qur`an adalah KH Ahmad Marzuki Hasan, yang masih saudara sepupu dengannya.


Belajar Lewat Pergaulan

Dalam menimba ilmu pengetahuan ia juga memanfaatkan pergaulan dengan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ia merasa dapat mengembangkan cakrawala berpikir dan mendapat banyak masukan yang diperlukan lewat pertemuan dan diskusi tersebut.
Ia juga bergaul akrab dengan orang-orang seperti Emil Salim, Amin Rais, Adi Sasono, Erna Witular, Nafsiah Mboi Walinono, dan Abbas Muin.



Menggeluti Organisasi

Keranjingannya berorganisasi tidak tanggung-tanggung. Setiap organisasi yang dimasukinya ia selalu memegang jabatan yang ia minati, yakni dakwah dan pengkaderan.
Ketika duduk di bangku PGAN 6 Tahun, ia memilih organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Ia duduk sebagai pengurus ranting di sekolahnya dan seterusnya ke tingkat wilayah.
Sementara organisasi pemuda yang digelutinya yakni Pemuda Muhammadiyah. Ia menjadi pengurus dari tingkat cabang hingga wilayah Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra) periode 1966-1968.
Pada masa pengganyangan G30S/PKI ia bergabung dengan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI). Ia juga aktif dalam latihan militer ketika terbentuk Komando Keamanan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM).
Ia melibatkan diri dan menjadi pengurus Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) di kota Makassar. Parmusi ini diharapkan sebagai penjelmaan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Namun, rupanya Masyumi pun dilarang oleh pemerintah. Sejak itu Muhsin kecewa melihat sikap pemerintah. Ia tidak lagi meneruskan kegiatannya dalam partai. Akhirnya, ia kembali menggeluti dunia dakwah.


Menambah Ilmu di Jawa

Usai pendidikan muballigh di Makassar, Muhsin berangkat ke Surabaya bersama Usman Palese. Mereka sempat belajar sebentar di Pondok Modern Gontor, lalu pindah ke PERSIS Bangil. Di sini juga hanya bertahan tiga bulan.
Muhsin lebih banyak berdiskusi dengan Ustadz Mansyur Hasan. Bahkan sering ditugaskan membawakan khutbah Jum'at dan ceramah di Masjid Persis. Muhsin juga senang berdiskusi masalah hukum dan politik serta hal-hal yang menyentuh agama dengan sepupunya, Jaksa Arsyad Hasan, SH.
Lalu ia meninggalkan Surabaya menuju Jakarta. Di Jakarta, ia bersama Ustadz As'ad El-Hafidy membuka kursus muballigh. Cukup berhasil. Muballigh-muballighat muda banyak yang lahir dari kursus ini.
Muhsin lalu kembali ke Makassar dan bergabung dengan Ustadz Ahmad Marzuki Hasan di Kompleks Pendidikan Muhammadiyah. Ia aktif melakukan pengaderan dengan anak-anak muda binaan Ustadz Ahmad Marzuki Hasan dalam upaya pemberantasan kemaksiatan yang tengah marak di kota Makassar dan sekitarnya.


Mengganyang Judi

Peristiwa penghancuran tempat perjudian di Makassar terjadi pada 28 Agustus 1969. Sehari sebelumnya, rencana penghancuran diarahkan langsung oleh Muhsin Kahar dan Mahyuddin Thaha. Peristiwa ini melibatkan para pemuda Muhammadiyah di Makassar.
Peristiwa menghebohkan di Sulawesi Selatan itu membuat ruang tahanan Kodim 1408 Makassar penuh sesak. Banyak anggota Pemuda Muhammadiyah ditahan. Bahkan beberapa tokoh seperti Ustadz Ahmad Marzuki Hasan, KH Fathul Mu'in Daeng Maggading, Ustadz M. Arief Marzuki, dan ayahnya sendiri Kiai Abdul Kahar ditahan. Bahkan sampai ada yang dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan hingga diproses ke pengadilan.
Namun, atas saran beberapa ustadz, Muhsin Kahar harus segera pergi dari Makassar dan jangan menyerahkan diri.


Meninggalkan Kota Daeng

Muhsin meninggalkan Makassar ke arah selatan menuju daerah Gowa diantar oleh Amir Said dengan sepeda motor. Pada 30 Agustus 1969 perjalanan dilanjutkan menuju Maros dengan diantar beberapa aktivis Pemuda Muhammadiyah. Akhirnya Muhsin bersama Manshur Salbu tiba di Maros setelah seharian berjalan kaki sejauh 40 km.
Lalu, pada 30 Agustus, Muhsin dibonceng dengan sepeda motor oleh Mahyuddin Thaha bertolak ke Pare-Pare dengan menempuh jarak 150 km. Muhsin juga mengganti namanya menjadi Abdullah Said.


Pare Pare yang Penuh Kenangan

Muhsin tidak hanya menetap di Pare Pare, ia sempat berkunjung ke Sidrap, dan Sengkang-Wajo, serta ke Pinrang dibonceng sepeda engkol oleh Abdul Fattah, aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Pare-pare. Abdul Fattah akhirnya berubah nama menjadi Abdurrahman Muhammad, yang ternyata kemudian menjadi Pemimpin Umum Hidayatullah.
Selama di Pare Pare, Muhsin ditempatkan di sebuah kamar hotel tua yang tidak terpakai lagi agar tidak mengundang kecurigaan aparat. Hanya ada seorang pemikul air yang kurang normal bernama Marzuki yang sering ngomong tidak karuan. Penempatan ini atas pengaturan Mahyuddin Thaha dan H. Badiu.
Pada saat terkurung di kamar yang hanya ada tumpukan ranjang-ranjang tua berdebu dan sarang laba-laba, ia merasakan tekanan yang menyiksa. Bukan karena sumpeknya kamar, tapi karena tidak bisa berceramah sebagai hobinya sejak kecil.
Namun, di samping rasa sumpek itu, ada ketenangan yang diberikan Allah Swt kepadanya saat melakukan shalat lail (tahajjud). Ada inspirasi dan lintasan ilham yang mengalir deras. Kondisi ini tidak disia-siakan. Ia memanfaatkan waktunya untuk menulis.
Ia mulai berkonsentrasi dan mengingat buku-buku yang dibacanya. Ia hanya ditemani sebuah tafsir Al-Furqan karangan A. Hassan dan beberapa majalah Kiblat yang memuat tulisan Mohammad Natsir secara bersambung tentang Fiqhu Dakwah. Juga mencoba mengingat pengalamannya sebagai muballigh.
Hasilnya, lima buah buku penuh dengan tulisan tentang Metode Dakwah yang Efektif. Sebagai teman diskusi sekaligus melayani kebutuhan yang diperlukannya yakni Manshur Salbu.
Kegiatan menulis berlangsung sampai tempatnya tercium dan digerebek petugas empat bulan kemudian. Tepatnya, Rabu, 24 Desember 1969, pada saat Manshur Salbu ditugaskan ke Makassar. Untung, Muhsin lolos dari sergapan petugas dengan menjatuhkan diri dari ketinggian empat meter lewat jendela lalu meninggalkan tempat itu melalui celah-celah rumah yang padat di kawasan itu.
Sebelum kejadian mengagetkan itu, ia mendengar suara dengan jelas dalam keadaan tidur dan tidak. Ia ingat seperti ada yang membacakan sepotong ayat yang terdapat dalam Surat Yusuf ayat 10 yang berbunyi, ''La taqtulu yusufa ...,(janganlah engkau bunuh Yusuf)!''
Di kala itu ia berjanji dan memasang tekad, ''Kalau memang Allah masih memberi saya umur panjang, di manapun berada akan saya habiskan umur untuk hanya mengurus Islam, tidak mengurus yang lain. Saya anggap umur yang diberikan Allah sesudah ini adalah bonus yang terlalu patut saya syukuri.''


Meninggalkan Sulawesi

Kawan-kawan Muhsin segera mengurus kepergiannya. Seperti orang diusir, ia dipaksa naik kapal yang juga tidak tahu tujuannya. Pokoknya, kota mana saja yang dituju kapal, di situlah ia akan berbuat. Di kota ini pulalah kawan-kawan Muhsin mengganti nama Muhsin menjadi Abdullah.
Ternyata, malam itu, 25 Maret 1969, Kapal Motor Ganda Ria yang ditumpanginya bertolak ke Balikpapan. Kapal yang ditumpanginya itu memuat ayam, sapi, dan sayur-sayuran.
Setelah dua hari dua malam diombang-ambingkan gelombang Selat Makassar barulah ia tiba di pelabuhan Kampung Baru. Satu-satunya alamat yang dikenal adalah tempat kerja kakak iparnya, Muchtar Pae, yang bekerja di Kejaksaan Negeri Balikpapan. Ia tiba dengan berpakaian lusuh dan bersandal jepit yang warnanya beda.


Memperkenalkan Diri

Untuk menjaga keselamatan Abdullah, kakak iparnya melarangnya berceramah. Namun, kata Abdullah, ''Kayaknya rasa takut saya telah habis pada waktu dalam kejaran ancaman pembunuhan selama empat bulan.''
Suatu waktu pada acara Isra' dan Mi'raj di Karang Anyar, Balikpapan, muballigh yang bertugas mengisi acara tidak hadir. Pihak Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) mencoba menampilkan Abdullah Said (tambahan nama Said setelah tiba di Balikpapan) sebagai gantinya.
Ceramah yang disampaikan Abdullah sangat lancar, padat, bersemangat, dan diselingi humor yang segar.
Sejak itu, nama Abdullah Said mulai populer. Nama Muhsin Kahar yang telah malang melintang di Sulawesi Selatan pelan-pelan tenggelam.


Menggalang Anak Muda

Langkah awal yang dilakukan Abdullah Said dalam mencari kader dengan mengadakan kursus muballigh. Terbukti, setelah kursus berlangsung, banyak anak muda yang tertarik mengikutinya. Ia juga mengadakan berbagai kegiatan Training Center (TC).
Untuk memelihara hasil yang diperoleh dalam TC, ia terus mengadakan pembinaan. Selain itu juga mengadakan pengajian setiap Ahad, yang dinamakan Up-Grading mental.


Ingin Belajar ke Timur Tengah

Abdullah Said mulai berpikir untuk mendirikan sebuah pesantren sebagai pusat pengkaderan da'i. Untuk mewujudkan niatnya itu ia merasakan kurangnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Sehingga ia membulatkan tekad untuk menuntut ilmu di Timur Tengah (Kuwait).
Ia pun pergi ke Jakarta untuk mengurus rencana kepergiannya ke Kuwait. Di Jakarta ia bertemu seseorang dari Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) yang memberi nasihat kepadanya. Katanya, ''Bukankah Al-Qur`an yang dipelajari di Kuwait itu juga yang dipelajari di sini? Kalau menurut saran saya kembalilah ke Kalimantan, amalkan ilmu yang kamu miliki. Orang-orang di Kalimantan sekarang sangat memerlukan pembinaan. Siapa yang berdosa kalau harus menunggu pintarnya dulu baru beramal. Insya Allah, Dia akan menambah ilmu yang kamu rasakan sangat kurang itu manakala kamu mengamalkannya.''
Akhirnya setelah dipertimbangkan, Abdullah Said mengikuti nasehat orang tua itu, yang sampai akhir hayatnya tak mengetahui siapa orang tersebut sesungguhnya.


Memboyong Tenaga Pengajar

Abdullah Said lalu mengunjungi rekannya, Usman Palese, yang sedang belajar di Akademi Tarjih Muhammadiyah, untuk pulang ke Kalimantan. Sebelum pulang, ia juga sempat berceramah di Masjid At-Taqwa, Jakarta, milik Muhammadiyah. Ceramah tersebut membuat banyak anak muda terpesona dan terpengaruh sehingga ikut ke Balikpapan.
Setelah tiba di Balikpapan, murid-muridnya menyambut dengan gembira. Pasalnya, sang guru, Abdullah Said datang dengan membawa tenaga-tenaga pengajar untuk mereka.


Memulai Kegiatan Pesantren

Kegiatan belajar mengajar bertempat di Gunung Sari, rumah H Muhammad Rasyid. Satu demi satu santri mulai berdatangan. Lalu pada 1 Muharram 1393 atau 26 Januari 1974 mereka hijrah ke Karang Rejo. Meski tempat ini berupa gubuk yang tidak layak dan jauh dari tetangga, tapi mereka tetap yakin, sabar, dan tawakal. Di tempat ini mereka tinggal 11 bulan.


Memulai Sejarah Baru

Di Karang Bugis mereka tinggal di sebuah emperan rumah milik seorang yang bernama Baba. Tempat ini dipakai untuk belajar sekaligus tempat tidur. Sementara empat kader putri yang setia mengikuti ditempatkan di sebuah rumah pinjaman. Salah satunya, Aida Chered, yang kemudian menjadi istri Abdullah Said. (Dari pernikahannya ini ia dikaruniai 7 anak: Saidah Abdullah Said, Ulfiah Su’adah Abdullah Said, Hizbullah Abdullah Said, Nashrullah Abdullah Said, Fathun Qorib Abdullah Said, Maftuhah Abdullah Said, dan Muntadzirizzaman Abdullah Said).
Akhirnya, mujahadah mereka membuahkan hasil. Seorang tokoh masyarakat, H. Andi Kadir Mappasossong, mewakafkan tanahnya seluas 0,5 hektar. Setelah tiga tahun, untuk pertamakalinya Pesantren Hidayatullah memiliki sebidang tanah. Bangunan yang pertama kali diwujudkan adalah mushalla.
Di tempat inilah setapak demi setapak mereka mulai mewujudkan rencananya. Dan, program-program pengembangan semakin padat dan nyata, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat.


Membuka Gunung Tembak

Melihat kondisi Karang Bugis yang sedemikian sempit, maka Abdullah Said berpikir keras untuk mendapatkan lokasi yang lebih luas. Setelah melakukan penjajakan, akhirnya pengurus pesantren menemukan tempat yang dianggap cocok. Lalu mereka bersama Walikota Balikpapan, H. Asnawie Arbain, menemui pemilik tanah. Lokasi seluas 5,4 ha ini diserahkan secara resmi oleh pemiliknya, Darman, pada 5 Maret 1976.
Saat mengetahui tanah itu untuk pesantren, orang tua itu menangis haru. Setelah pesantren sudah ramai dipenuhi santri yang berpakaian putih berduyun-duyun menuju tempat shalat, orang tua itu berkata kepada Abdullah Said, ''Sudah dua tahun lamanya saya bermimpi didatangi orang berpakaian putih dengan muka bercahaya. Sejak itu saya tidak pernah lagi makan nasi. Saya hanya makan buah-buahan dan minum air putih. Saya juga tidak tahu mengapa berbuat demikian. Hanya dalam hati saya ada perasaan bahwa ini pasti kebaikan yang akan muncul di tempat ini.'' *Manshur Salbu, Dadang Kusmayadi/Suara Hidayatullah









Ihwal 3
Mutiara Berserak dari Sang Pelopor


Sebuah pepatah berbunyi, “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama.” Namun meninggalnya orang-orang shaleh, memiliki dimensi lebih dari sekadar warisan nama dan benda.
Di bawah ini butiran-butiran mutiara (hikmah) dari Allahu yarham Ustadz Abdullah Said, pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah.

Kader

“Rasakan serta nikmati hal-hal yang tidak menyenangkan dalam perjuangan, maka akan mendapat kekuatan di dalam jiwa.”

Dakwah dan Kehidupan

“Keberhasilan dakwah seorang muballigh tidak ditentukan oleh banyaknya tepuk tangan dan pujian-pujian.”

“Ada kekeliruan yang sangat fatal di kalangan umat, bahwa Nabi Muhammad memilih hidup miskin itu diterjemahkan dengan hidup ideal yang islami adalah yang merana dan sengsara.”

“Jika nilai agama hanya diajarkan sebagai ilmu pengetahuan, tanpa diantar pada wujud pelaksanaan, itu merupakan suatu bencana besar yang menimpa umat Islam. Lebih besar bahayanya daripada gempa bumi yang menewaskan sekian jumlah orang dan menimbulkan kerugian miliaran rupiah.”

“Dakwah yang lebih didengar adalah dakwah yang didukung oleh pembuktian nyata, berupa peragaan dan praktik di lapangan pada diri dan keluarga.”

“Karena ketidakjelasan manhaj, kadang-kadang dakwah Islam tidak lebih sekadar hura-hura.”

“Dakwah bukanlah pekerjaan ringan, karenanya Allah tidak menitip amanah ini kepada sembarang orang.”

“Di atas kesulitan-kesulitan yang kita hadapi di lapangan perjuangan, ada janji-janji Allah yang sangat menggiurkan.”

“Setetes hidayah dari Allah, jauh lebih berarti dari berjilid-jilid buku yang ditulis oleh seorang penulis paling terkenal sekalipun.”


Kehidupan

“Ukuran sederhana keimanan seorang mukmin, dapat diketahui lewat kadar cintanya kepada Tuhan melebihi cintanya kepada yang lain.”

“Hidup sengsara adalah pabrik yang paling produktif untuk lahirnya ide-ide brilian.”


Persatuan dan Jamaah

“Jangan sampai kita terlalu memacu program pelayanan dan pengembangan lembaga, sementara kondisi barisan (shaf) dan jamaah dalam keadaan morat-marit.


Perputaran Roda Zaman

“Jangan hanya kagum dengan membaca sejarah yang telah dilakukan Nabi dan sahabat-sahabatnya, serta kecemerlangan pejuang-pejuang Islam di belakang beliau. Tapi kita juga harus berbuat sesuatu yang pantas dicatat sejarah.”

“Muballigh adalah seperti anak panah yang meluncur mencari sasaran. Jika muballigh melenceng niatnya, jangan harap akan berhasil memperbaiki umat.”

“Betapa tragisnya, kalau hanya untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang yang berjasa, lantas kita korbankan kekayaan yang kita miliki. Yakni keikhlasan.”

“Yang dibutuhkan yunior dari para seniornya adalah keteladanan, bukan perasaan ingin diistimewakan. Perlakuan sebagai orang yang istimewa, dapat melumpuhkan proses kaderisasi.”

“Allah memang Maha Pengampun, tetapi bukan berarti kita boleh seenaknya melakukan dosa.”


Syahadat

“Syahadat yang ideal adalah syahadat yang melahirkan kekuatan.”

“Sadar akan beratnya tugas khalifah, mestinya mendorong kita memperoleh kekuatan tambahan dengan meningkatkan mutu ibadah.”

“Orang yang bersyahadat tidak memerlukan apa yang orang umumnya kejar, dengan sangat mabuk dan penuh kegilaan, siang dan malam. Mereka sudah melampaui tahapan-tahapan seperti itu.”


Kampus dan Kehidupan Islami

“Alangkah sayang dan ruginya kita membikin kampus (pesantren) dimana-mana, kalau kehidupan yang ada di dalamnya sama dengan kehidupan di luar kampus.”


Al-Qur’an

“Kita dikucilkan orang karena kita tidak berqur’an, maka kita tidak diberi kekuasaan karena kita jauh dari Qur’an.”

“Faktor utama yang membuat kita tinggal di buntut-buntut peradaban dunia adalah karena kita tinggalkan Al-Qur’an.”

“Orang yang paling aniaya adalah mereka yang tahu Qur’an itu nyata-nyata wahyu, tapi ditolak.”

“Sebelum memulai langkah dakwah, yang pertama-tama harus diselesaikan adalah mengimani Al-Qur’an sebagai konsepsi kebenaran mutlak satu-satunya.”


Dzikir

“Seseorang pada saat tidak berada dalam bimbingan Allah, maka dia akan dijadikan (dibimbing) syetan.”

“Berjuang di jalan Allah adalah salah satu cara mengharapkan perlindungan Allah Swt dari ganasnya serbuan syetan.”


Shalat Lail

”Bagi mereka yang pernah melakukan shalat lail tentu merasakan dan mengakui adanya pertarungan yang sangat seru dan sengit dalam menghadapi godaan syetan dan pengaruh nafsu yang luar biasa kuatnya.”


Hijrah

“Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah, dia akan mendapatkan rezeki yang banyak dan kehidupan yang lapang.”


Iman dan Nafsu

“Perlawanan orang-orang yang beriman atas kaum tiran, menjadi dekorasi sejarah yang membuat hidup ini menjadi indah.”

“Ciri khas dari keberadaan iman adalah tidak mungkin mentolerir bentuk-bentuk kebatilan, bagaimanapun dia dipercantik.”

“Pada dasarnya iman bergerak atas dasar kerinduan kepada Allah, sedangkan nafsu bergerak atas dasar ambisi.”

“Akibat perjuangan yang digerakkan oleh hawa nafsu, bukan kemenangan yang yang didapatkan sesuai janji Allah. Bahkan modal kekuatan yang sekian lama menjadi kebanggaan pun lenyap, bertukar dengan rasa takut, cemas dan khawatir.”

“Format serta model orang yang bekerja karena iman, sudah ada ukurannya dalam Al-Qur’an. Hasil serta ujungnya pasti ada kesamaan.”

“Hanya bagi mereka yang merindukan Allah, yang sangat mengharapkan perjumpaan dengan Allah.”

“Tidak mungkin ada iman yang mengalah dan menyerah pasrah lalu diam dan berpangku tangan tanpa berbuat apa-apa.”

“Iman bukan suatu yang pasif dan netral, ia selalu aktif dan menghasilkan hal-hal positif.”

Shalat dan Do’a

“Berdoa berbeda dengan membaca doa.”

“Usai bertemu dengan Allah (shalat), hendaknya menghasilkan dua hal: semakin bertambah keyakinannya, dan siap melakukan tugas-tugas sebagai khalifatullah fil ardi.”

“Shalat nyaris ‘tidak ada gunanya’ bagi mereka yang tidak melaksanakan tugas tugas kekhalifahan di muka bumi.”

* Ali Athwa/Suara Hidayatullah



Aida Chered (istri almarhum Ustadz Abdullah Said)
Beliau Sosok Romantis

Pertemuannya saya dengan almarhum adalah sebuah anugerah dari Allah . Jalinan rumah tangga dengan beliau telah mengubah pandangan saya terhadap kehidupan. Pemahaman keislaman saya semakin bertambah, dan saya menemukan tujuan hidup yang hakiki.
Perkenalan saya dengan beliau diawali di sebuah acara pernikahan. Saat itu saya berusia 23 tahun. Ketika memberi khutbah nikah, banyak yang terkesima dengan materi yang disampaikannya. Saya penasaran untuk terus mengikuti pengajian-pengajian beliau.
Puncaknya ketika saya meninggalkan pekerjaan di Dinas Kesehatan Kota (DKK) untuk bergabung dengan beliau. Ketika itu kegiatan kami hanya belajar. Saya rela meninggalkan pekerjaan karena sudah lama ingin meningkatkan pemahaman keislaman.
Setelah dua tahun mengikuti pengajian tersebut, akhirnya saya dipersunting oleh beliau. Sejak itu, saya merasakan perubahan drastis dalam hidup sebagai seorang Muslimah. Sebagai seorang istri, saya harus siap mendampinginya dalam suka dan duka. Kebahagiaan saya saat itu bukan karena pelayanan istimewa dan berbagai fasilitas untuk sang suami, karena saat itu belum ada apa-apa. Makan saja susah. Tapi karena saya telah menemukan makna hidup, perjuangan yang kami jalani terasa nikmat, sehingga hampir tak terasa dukanya.
Untuk menambah pemahaman tentang perjuangan, saya senantiasa menyimak dengan serius setiap kali beliau memberikan pengajian. Ya, kadang-kadang saya itu disindir melalui ceramah. Maklum, beliau sangat sibuk, jadi kadang-kadang tidak sempat memberikan nasehat secara langsung.
Meski memiliki mobilitas tinggi, tapi bagi saya beliau adalah sosok yang romantis. Ia sangat perhatian kepada istri. Demikian juga ketika telah mempunyai buah hati. Beliau tidak luput memperhatikan perkembangan anak-anak.
Dalam hal shalat, misalnya, beliau sangat tegas. Beliau meminta untuk meninggalkan semua kegiatan dan segera mempersiapkan anak-anak untuk menunaikan shalat. Bahkan kalau ada tamu pun beliau minta untuk meninggalkan dulu tamu tersebut.
Saya sangat bersyukur meski waktu yang tersedia untuk anak-anak sangat sedikit, tapi beliau berusaha untuk bercengkrama dan bercanda dengan buah hatinya. Sekarang, saya tidak punya pola pendidikan secara khusus untuk pendidikan anak-anak. Tapi saya senantiasa memperkuat do’a agar anak-anak tumbuh sebagai anak yang shaleh dan shalehah. *Mujahid/Suara Hidayatullah


Ibu Atika, Juru masak awal di Gunung Tembak
Selalu Makan Bersama Santri

Ustadz Abdullah said sosok yang sangat pemberani. Ketika menumpang di rumah saya di Gunung Sari, beliau sempat dicari-cari polisi, tapi selalu luput. Setiap kali para polisi pulang, beliau kembali mengadakan pengajian yang berpindah-pindah, yang diikuti sekitar 30-an pemuda yang setia mengikuti pengajiannya.
Ketika hijrah ke Gunung Tembak, beliau selalu menikmati sajian yang disediakan, apa pun menunya.
Satu hal yang selalu terkenang oleh saya, beliau tidak pernah mau makan sendiri, ia selalu bergabung dengan para santri atau memanggil orang untuk makan bersamanya.
Demikian juga dalam memperlakukan orang lain, beliau selalu menyapa siapa saja, sehingga semua merasa diperhatikan. Beliau sangat perhatian kepada santrinya termasuk soal-soal yang kecil.
Misalnya, beliau kerap meminta saya membagikan sabun kepada para santri yang diletakkan di mangkuk-mangkuk kecil, lalu diletakkan di depan kamar masing-masing. *Mujahid/Suara Hidayatullah


Thoriqul Fajr, Pendamping Bagian Kerumahtanggaan.
Beliau Seorang Humoris

Beliau seorang yang humoris, sehingga saya merasa senang mendampingi beliau. Beliau pernah memarahi saya, tapi kemarahan itu tidak membuat saya kesal, karena setelah itu selalu dibawa bercanda.
Pernah suatu kali, saya memakai sepatu dengan merek terkenal dan lumayan mahal harganya. Sepatu saya itu sama dengan yang digunakan beliau. Lalu beliau pun menegur saya.
“Bagus juga sepatumu Thoriq?”
“Ah tidak Ustad, sama saja dengan sepatunya Ustadz.” Beliau tidak bisa menahan tawanya, lalu berkata, “Kalau saya kan dikasih orang.”
Rupanya sikap dan gaya saya merupakan hiburan tersendiri bagi beliau. Sampai akhirnya saya pun dinikahkan dengan keponakannya. *Mujahid/Suara Hidayatullah

click biar lengkap......

Jejak Penuh Hikmah



''Syahadat yang ideal adalah syahadat yang melahirkan kekuatan.''

''Di atas kesulitan-kesulitan yang kita hadapi di lapangan perjuangan, ada janji-janji Allah yang sangat menggiurkan.''

''Shalat itu bukan sekadar gerakan ritual semata. Di sana kita mengisi daftar usulan proyek, di sana kita meminta.''

''Jangan hanya kagum dengan membaca sejarah yang telah dilakukan Nabi dan sahabat-sahabatnya, serta kecemerlangan pejuang-pejuang Islam di belakang beliau. Tapi kita juga harus berbuat sesuatu yang pantas dicatat sejarah.''

Kutipan di atas hanya sekadar menyegarkan kembali ingatan kita terhadap sosok almarhum Ustadz Abdullah Said, pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah dan juga pendiri majalah Suara Hidayatullah.



Laporan Utama kali ini, dalam rangka Milad majalah Suara Hidayatullah yang ke-19. kami mencoba tampil sedikit berbeda. Kami akan merekam kembali jejak penuh hikmah sosok Abdullah Said, termasuk nukilan buku berjudul KH Abdullah Said, Pokok-pokok Pikiran, Kiprah dan Perjuangannya karya Ust Manshur Salbu.
Rekaman tersebut akan kami tampilkan dalam 10 halaman. Kami yakin ada banyak teladan dan hikmah yang bisa diambil dari rekaman tersebut. Selamat mengikuti! *Dadang Kusmayadi, Mahladi/Suara Hidayatullah



Tulisan 2: 5 halaman

Rekam Jejak Sang Pelopor

Ketika Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan di Jakarta pada 17 Agustus 1945, jauh di pelosok Sulawesi Selatan, tepatnya di Desa Lamatti Rilau, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, lahirlah seorang anak dari ibu bernama Aisyah. Anak tersebut kemudian diberi nama Muhsin Kahar.
Muhsin adalah anak ketiga dari empat bersaudara: Junaid Kahar, Lukmanul Hakim Kahar, dan As'ad Kahar. Ayahnya, Kiai Abdul Kahar Syuaib adalah ulama kharismatik di Kampung Lamatti. Sang ayah lebih populer di kalangan masyarakat dengan sebutan Puang Imang (panggilan kehormatan kepada Imam di kampung) karena cukup lama menjadi imam di kampung.
Ketika masih dalam kandungan, Muhsin telah menjadi bahan perbincangan di kalangan keluarga. Sebab, usia kandungan ibunya sudah mencapai dua tahun, namun sang anak belum juga lahir.
Hanya ayahnya yang selalu mengingatkan sang ibu agar tetap bersabar menunggu kelahirannya sampai kapan pun yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta'ala (Swt).
Ketika usia kandungan memasuki tahun kedua timbul tanggapan miring bahwa mungkin yang dikandung itu bukan manusia. Mungkin buaya atau entah apa.
Sang ayah marah besar mendengar tanggapan miring seperti itu. Ada keyakinan dalam hati sang ayah bahwa anak yang dikandung itu kelak justru akan menjadi orang hebat.
Akhirnya bayi yang tadinya mencurigakan itu lahir dalam keadaan normal dan sehat layaknya bayi-bayi pada umumnya.

Hijrah ke Makassar

Di kampung halamannya Muhsin sekolah sampai kelas III (1952-1954). Ia kemudian harus meninggalkan tempat kelahirannya tercinta karena harus mengikuti sang ayah pindah ke Makassar.
Hati Muhsin merasa berat. Betapapun bersahajanya kampung itu, baginya banyak kenangan indah yang tidak mudah dilupakan. Desanya yang terletak di dataran tinggi dengan pepohonan yang rimbun selalu mengalirkan kesejukan. Apalagi jika memandang hamparan pulau-pulau di perairan Teluk Bone, memberi energi tersendiri dalam jiwanya.
Kehidupan yang dijalaninya pada awal tiba di Makassar sangat memprihatinkan. Maklum, orang tuanya tdak mempunyai pekerjaan yang mendatangkan banyak uang. Ia hanya imam sebuah masjid di Kampung Malimongan Baru. Sesekali, sang ayah memberi tuntunan agama kepada jamaah masjid itu.
Untunglah sang ibu sangat giat mencari nafkah untuk membantu membiayai anak-anak sekolah. Praktis, meskipun jauh dari memadai, kebutuhan keluarga itu tercukupi.
Di Makassar itu Muhsin banyak menyaksikan orang mabuk-mabukan dan berteriak dengan kata-kata yang tidak sedap. Sering juga terjadi perkelahian antara kelompok anak muda yang hanya disebabkan persoalan sepele.

Bintang Kelas

Setelah pindah ke Makassar, Muhsin meneruskan sekolah di kota itu. Ia diterima di kelas IV SD (dulu Sekolah Rakyat) No 30. Di SD ini ia selalu menjadi bintang kelas karena menguasai seluruh mata pelajaran termasuk menggambar. Bahkan ia pernah menjuarai lomba menggambar antar Sekolah Dasar se-Kota Besar Makassar. Ia juga sering ditugaskan gurunya menyalin pelajaran di papan tulis.
Ketika mengikuti ujian akhir SD, ia mendapat nilai tertinggi sehingga memungkinkan memilih sekolah favorit. Ia tidak memilih sekolah umum tapi sekolah agama yakni Pendidikan Guru Agama Negeri 6 Tahun (PGAN 6 Tahun). Ia memilih sekolah ini karena di samping mempelajari agama juga termasuk sekolah yang didambakan sebagai satu-satunya Pendidikan Guru Agama milik pemerintah di Indonesia Timur.
Di sini yang diterima hanya murid-murid yang berprestasi. Di sisi lain, sangat menguntungkan bagi orang-orang yang tidak mampu dari segi biaya. Siswa di sekolah ini setiap bulan mendapat tunjangan ikatan dinas (ID). Muhsin sangat senang karena sedikit mampu meringankan beban orang tuanya.
Di sekolah ini juga ia terkenal sebagai siswa yang pandai berpidato. Ia juga selalu ditunjuk menjadi ketua kelas. Dalam berbagai pertemuan ia dipercaya untuk memimpin. Ia dikenal sebagai siswa berpengetahuan luas karena sangat rajin membaca. Tunjangan ID-nya setiap bulan tidak bersisa. Semuanya dibelikan buku.
Ini berbeda dengan teman-temannya yang lebih suka membeli baju demi penampilan. Maklum, di sekolah itu bercampur antara pria dan wanita.
Muhsin memang kurang perhatian terhadap penampilan. Ia tidak malu-malu menggunakan sarung ke sekolah kalau celananya sedang dicuci. Teman-temannya sering sinis melihat kebiasaan tak lazim itu. Tapi ia cuek saja. Lagi pula peraturan soal pakaian belum seketat sekarang.


Meninggalkan Bangku Kuliah

Muhsin lulus dari PGAN 6 Tahun dengan nilai memuaskan. Karena prestasi itu ia langsung mendpat tugas belajar di IAIN Alauddin, Makassar.
Muhsin sempat menjalankan tugas belajar tersebut. Namun hanya bertahan satu tahun. Ia berhenti kuliah. Alasannya, ia merasa tidak memperoleh tambahan ilmu yang berarti. Ia telah membaca semua materi kuliah yang diberikan dosen.
Muhsin berkesimpulan bahwa kalau duduk beberapa tahun di bangku kuliah akan banyak menyita waktu dan energi, sementara hasilnya tidak seimbang dengan yang telah dikorbankan.
Hati Muhsin terusik juga ketika teman-teman kuliahnya menganggapnya sombong. Tapi prinsipnya tetap dipegang teguh. Menurutnya, kuliah banyak menyia-nyiakan waktu untuk ngobrol ngalor-ngidul antara mahasiswa dan mahasiswi. Yang diobrolkan pun tidak ada hubungannya dengan perkuliahan. Bahkan mengarah pada hal-hal yang tidak wajar dibicarakan.
Karena itu Muhsin berpendapat lebih aman jika berhenti kuliah dan aktif berorganisasi, belajar langsung kepada ulama, giat berdakwah, dan gencar membaca.


Belajar Lewat Bacaan

Jika tidak ada rapat organisasi, Muhsin pergi ke tempat favoritnya, yakni toko buku. Beberapa toko buku di Makassar kala itu, seperti Hidayat Book Store, toko Buku Rakyat, Assagaf dan Aloha, menjadi langganannya.
Ia sedih bila buku yang diminatinya tidak bisa dibeli karena uang yang dimilikinya tidak cukup. Saat itulah ia meminta kepada pemilik toko untuk menyimpan buku itu untuknya, sambil ia berusaha mencari uang untuk menebusnya.
Beruntung karyawan toko buku umumnya telah mengenal Muhsin sebagai ''si kutu buku'', sehingga mereka tidak keberatan. Kegemaran seperti itu terus berlanjut kendati telah tampil menjadi muballigh muda favorit. Hampir setiap pekan ia tampak di toko buku, menghabiskan sebagian honor dakwahnya untuk belanja buku.
Ketika telah menjadi pimpinan Pesantren Hidayatullah kegiatan membacanya semakin tinggi. Untuk membeli sekian banyak buku ia rela mengeluarkan uang sampai jutaan rupiah. Ketika waktu kembali ke Balikpapan dengan menumpang kapal PELNI, buku yang diboyongnya sampai berkardus-kardus.
Menariknya, buku-buku yang ia beli bukan melulu tentang agama tapi termasuk buku-buku manajemen, seperti buku tulisan Sondang P. Siagian. Buku pengembangan diri seperti karangan Dale Carnegie, Napoleon Hill, Norman Vincent Peale, David J.Schwartz, Herbert N. Casson, Stephen R. Covey, Gloria Steinem, John Naisbit, dan Alvin Toffler pun dibeli. Buku jurnalistik, ilmu pernapasan, pijat refleksi juga dibelinya.
Setiap hari ia membaca tiga surat kabar ibu kota: Harian Merdeka, Kompas, dan Sinar Harapan, ditambah surat kabar lokal, Manuntung dan Suara Kaltim. Majalah Tempo, Gatra, Editor, Forum Keadilan, Topik, Panji Masyarakat, Kartini, termasuk majalah Trubus dan Asri tak luput dibacanya. Apalagi waktu menulis naskah Kajian Utama di majalah Suara Hidayatullah, gairah membacanya semakin besar.
Selain membaca buku, ia juga sering mengikuti siaran radio BBC London, Voice Of America, radio Australia, dan RRI.


Belajar Lewat Masjid

Ayahnya sering mengajaknya melaksanakan shalat berjamaah dan mendengarkan ceramah di berbagai masjid. Ajakan tersebut baginya mengandung hikmah besar. Karena, di samping menjadi kebiasaan melaksanakan shalat berjamaah, juga dapat menimba ilmu dari ulama-ulama yang memberi pelajaran setiap ba'da Maghrib dan Shubuh.
Ia belajar pada ulama-ulama terkenal, seperti KH Abdul Djabbar Asyiri, yang melatihnya menghafal dan memahami hadits-hadits. Sementara Ustadz Abdul Malik Ibrahim membimbing dasar-dasar bahasa Arab.
Dan, yang mendorongnya lebih giat menggali Al-Qur`an adalah KH Ahmad Marzuki Hasan, yang masih saudara sepupu dengannya.


Belajar Lewat Pergaulan

Dalam menimba ilmu pengetahuan ia juga memanfaatkan pergaulan dengan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ia merasa dapat mengembangkan cakrawala berpikir dan mendapat banyak masukan yang diperlukan lewat pertemuan dan diskusi tersebut.
Ia juga bergaul akrab dengan orang-orang seperti Emil Salim, Amin Rais, Adi Sasono, Erna Witular, Nafsiah Mboi Walinono, dan Abbas Muin.



Menggeluti Organisasi

Keranjingannya berorganisasi tidak tanggung-tanggung. Setiap organisasi yang dimasukinya ia selalu memegang jabatan yang ia minati, yakni dakwah dan pengkaderan.
Ketika duduk di bangku PGAN 6 Tahun, ia memilih organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Ia duduk sebagai pengurus ranting di sekolahnya dan seterusnya ke tingkat wilayah.
Sementara organisasi pemuda yang digelutinya yakni Pemuda Muhammadiyah. Ia menjadi pengurus dari tingkat cabang hingga wilayah Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra) periode 1966-1968.
Pada masa pengganyangan G30S/PKI ia bergabung dengan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI). Ia juga aktif dalam latihan militer ketika terbentuk Komando Keamanan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM).
Ia melibatkan diri dan menjadi pengurus Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) di kota Makassar. Parmusi ini diharapkan sebagai penjelmaan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Namun, rupanya Masyumi pun dilarang oleh pemerintah. Sejak itu Muhsin kecewa melihat sikap pemerintah. Ia tidak lagi meneruskan kegiatannya dalam partai. Akhirnya, ia kembali menggeluti dunia dakwah.


Menambah Ilmu di Jawa

Usai pendidikan muballigh di Makassar, Muhsin berangkat ke Surabaya bersama Usman Palese. Mereka sempat belajar sebentar di Pondok Modern Gontor, lalu pindah ke PERSIS Bangil. Di sini juga hanya bertahan tiga bulan.
Muhsin lebih banyak berdiskusi dengan Ustadz Mansyur Hasan. Bahkan sering ditugaskan membawakan khutbah Jum'at dan ceramah di Masjid Persis. Muhsin juga senang berdiskusi masalah hukum dan politik serta hal-hal yang menyentuh agama dengan sepupunya, Jaksa Arsyad Hasan, SH.
Lalu ia meninggalkan Surabaya menuju Jakarta. Di Jakarta, ia bersama Ustadz As'ad El-Hafidy membuka kursus muballigh. Cukup berhasil. Muballigh-muballighat muda banyak yang lahir dari kursus ini.
Muhsin lalu kembali ke Makassar dan bergabung dengan Ustadz Ahmad Marzuki Hasan di Kompleks Pendidikan Muhammadiyah. Ia aktif melakukan pengaderan dengan anak-anak muda binaan Ustadz Ahmad Marzuki Hasan dalam upaya pemberantasan kemaksiatan yang tengah marak di kota Makassar dan sekitarnya.


Mengganyang Judi

Peristiwa penghancuran tempat perjudian di Makassar terjadi pada 28 Agustus 1969. Sehari sebelumnya, rencana penghancuran diarahkan langsung oleh Muhsin Kahar dan Mahyuddin Thaha. Peristiwa ini melibatkan para pemuda Muhammadiyah di Makassar.
Peristiwa menghebohkan di Sulawesi Selatan itu membuat ruang tahanan Kodim 1408 Makassar penuh sesak. Banyak anggota Pemuda Muhammadiyah ditahan. Bahkan beberapa tokoh seperti Ustadz Ahmad Marzuki Hasan, KH Fathul Mu'in Daeng Maggading, Ustadz M. Arief Marzuki, dan ayahnya sendiri Kiai Abdul Kahar ditahan. Bahkan sampai ada yang dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan hingga diproses ke pengadilan.
Namun, atas saran beberapa ustadz, Muhsin Kahar harus segera pergi dari Makassar dan jangan menyerahkan diri.


Meninggalkan Kota Daeng

Muhsin meninggalkan Makassar ke arah selatan menuju daerah Gowa diantar oleh Amir Said dengan sepeda motor. Pada 30 Agustus 1969 perjalanan dilanjutkan menuju Maros dengan diantar beberapa aktivis Pemuda Muhammadiyah. Akhirnya Muhsin bersama Manshur Salbu tiba di Maros setelah seharian berjalan kaki sejauh 40 km.
Lalu, pada 30 Agustus, Muhsin dibonceng dengan sepeda motor oleh Mahyuddin Thaha bertolak ke Pare-Pare dengan menempuh jarak 150 km. Muhsin juga mengganti namanya menjadi Abdullah Said.


Pare Pare yang Penuh Kenangan

Muhsin tidak hanya menetap di Pare Pare, ia sempat berkunjung ke Sidrap, dan Sengkang-Wajo, serta ke Pinrang dibonceng sepeda engkol oleh Abdul Fattah, aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Pare-pare. Abdul Fattah akhirnya berubah nama menjadi Abdurrahman Muhammad, yang ternyata kemudian menjadi Pemimpin Umum Hidayatullah.
Selama di Pare Pare, Muhsin ditempatkan di sebuah kamar hotel tua yang tidak terpakai lagi agar tidak mengundang kecurigaan aparat. Hanya ada seorang pemikul air yang kurang normal bernama Marzuki yang sering ngomong tidak karuan. Penempatan ini atas pengaturan Mahyuddin Thaha dan H. Badiu.
Pada saat terkurung di kamar yang hanya ada tumpukan ranjang-ranjang tua berdebu dan sarang laba-laba, ia merasakan tekanan yang menyiksa. Bukan karena sumpeknya kamar, tapi karena tidak bisa berceramah sebagai hobinya sejak kecil.
Namun, di samping rasa sumpek itu, ada ketenangan yang diberikan Allah Swt kepadanya saat melakukan shalat lail (tahajjud). Ada inspirasi dan lintasan ilham yang mengalir deras. Kondisi ini tidak disia-siakan. Ia memanfaatkan waktunya untuk menulis.
Ia mulai berkonsentrasi dan mengingat buku-buku yang dibacanya. Ia hanya ditemani sebuah tafsir Al-Furqan karangan A. Hassan dan beberapa majalah Kiblat yang memuat tulisan Mohammad Natsir secara bersambung tentang Fiqhu Dakwah. Juga mencoba mengingat pengalamannya sebagai muballigh.
Hasilnya, lima buah buku penuh dengan tulisan tentang Metode Dakwah yang Efektif. Sebagai teman diskusi sekaligus melayani kebutuhan yang diperlukannya yakni Manshur Salbu.
Kegiatan menulis berlangsung sampai tempatnya tercium dan digerebek petugas empat bulan kemudian. Tepatnya, Rabu, 24 Desember 1969, pada saat Manshur Salbu ditugaskan ke Makassar. Untung, Muhsin lolos dari sergapan petugas dengan menjatuhkan diri dari ketinggian empat meter lewat jendela lalu meninggalkan tempat itu melalui celah-celah rumah yang padat di kawasan itu.
Sebelum kejadian mengagetkan itu, ia mendengar suara dengan jelas dalam keadaan tidur dan tidak. Ia ingat seperti ada yang membacakan sepotong ayat yang terdapat dalam Surat Yusuf ayat 10 yang berbunyi, ''La taqtulu yusufa ...,(janganlah engkau bunuh Yusuf)!''
Di kala itu ia berjanji dan memasang tekad, ''Kalau memang Allah masih memberi saya umur panjang, di manapun berada akan saya habiskan umur untuk hanya mengurus Islam, tidak mengurus yang lain. Saya anggap umur yang diberikan Allah sesudah ini adalah bonus yang terlalu patut saya syukuri.''


Meninggalkan Sulawesi

Kawan-kawan Muhsin segera mengurus kepergiannya. Seperti orang diusir, ia dipaksa naik kapal yang juga tidak tahu tujuannya. Pokoknya, kota mana saja yang dituju kapal, di situlah ia akan berbuat. Di kota ini pulalah kawan-kawan Muhsin mengganti nama Muhsin menjadi Abdullah.
Ternyata, malam itu, 25 Maret 1969, Kapal Motor Ganda Ria yang ditumpanginya bertolak ke Balikpapan. Kapal yang ditumpanginya itu memuat ayam, sapi, dan sayur-sayuran.
Setelah dua hari dua malam diombang-ambingkan gelombang Selat Makassar barulah ia tiba di pelabuhan Kampung Baru. Satu-satunya alamat yang dikenal adalah tempat kerja kakak iparnya, Muchtar Pae, yang bekerja di Kejaksaan Negeri Balikpapan. Ia tiba dengan berpakaian lusuh dan bersandal jepit yang warnanya beda.


Memperkenalkan Diri

Untuk menjaga keselamatan Abdullah, kakak iparnya melarangnya berceramah. Namun, kata Abdullah, ''Kayaknya rasa takut saya telah habis pada waktu dalam kejaran ancaman pembunuhan selama empat bulan.''
Suatu waktu pada acara Isra' dan Mi'raj di Karang Anyar, Balikpapan, muballigh yang bertugas mengisi acara tidak hadir. Pihak Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) mencoba menampilkan Abdullah Said (tambahan nama Said setelah tiba di Balikpapan) sebagai gantinya.
Ceramah yang disampaikan Abdullah sangat lancar, padat, bersemangat, dan diselingi humor yang segar.
Sejak itu, nama Abdullah Said mulai populer. Nama Muhsin Kahar yang telah malang melintang di Sulawesi Selatan pelan-pelan tenggelam.


Menggalang Anak Muda

Langkah awal yang dilakukan Abdullah Said dalam mencari kader dengan mengadakan kursus muballigh. Terbukti, setelah kursus berlangsung, banyak anak muda yang tertarik mengikutinya. Ia juga mengadakan berbagai kegiatan Training Center (TC).
Untuk memelihara hasil yang diperoleh dalam TC, ia terus mengadakan pembinaan. Selain itu juga mengadakan pengajian setiap Ahad, yang dinamakan Up-Grading mental.


Ingin Belajar ke Timur Tengah

Abdullah Said mulai berpikir untuk mendirikan sebuah pesantren sebagai pusat pengkaderan da'i. Untuk mewujudkan niatnya itu ia merasakan kurangnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Sehingga ia membulatkan tekad untuk menuntut ilmu di Timur Tengah (Kuwait).
Ia pun pergi ke Jakarta untuk mengurus rencana kepergiannya ke Kuwait. Di Jakarta ia bertemu seseorang dari Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) yang memberi nasihat kepadanya. Katanya, ''Bukankah Al-Qur`an yang dipelajari di Kuwait itu juga yang dipelajari di sini? Kalau menurut saran saya kembalilah ke Kalimantan, amalkan ilmu yang kamu miliki. Orang-orang di Kalimantan sekarang sangat memerlukan pembinaan. Siapa yang berdosa kalau harus menunggu pintarnya dulu baru beramal. Insya Allah, Dia akan menambah ilmu yang kamu rasakan sangat kurang itu manakala kamu mengamalkannya.''
Akhirnya setelah dipertimbangkan, Abdullah Said mengikuti nasehat orang tua itu, yang sampai akhir hayatnya tak mengetahui siapa orang tersebut sesungguhnya.


Memboyong Tenaga Pengajar

Abdullah Said lalu mengunjungi rekannya, Usman Palese, yang sedang belajar di Akademi Tarjih Muhammadiyah, untuk pulang ke Kalimantan. Sebelum pulang, ia juga sempat berceramah di Masjid At-Taqwa, Jakarta, milik Muhammadiyah. Ceramah tersebut membuat banyak anak muda terpesona dan terpengaruh sehingga ikut ke Balikpapan.
Setelah tiba di Balikpapan, murid-muridnya menyambut dengan gembira. Pasalnya, sang guru, Abdullah Said datang dengan membawa tenaga-tenaga pengajar untuk mereka.


Memulai Kegiatan Pesantren

Kegiatan belajar mengajar bertempat di Gunung Sari, rumah H Muhammad Rasyid. Satu demi satu santri mulai berdatangan. Lalu pada 1 Muharram 1393 atau 26 Januari 1974 mereka hijrah ke Karang Rejo. Meski tempat ini berupa gubuk yang tidak layak dan jauh dari tetangga, tapi mereka tetap yakin, sabar, dan tawakal. Di tempat ini mereka tinggal 11 bulan.


Memulai Sejarah Baru

Di Karang Bugis mereka tinggal di sebuah emperan rumah milik seorang yang bernama Baba. Tempat ini dipakai untuk belajar sekaligus tempat tidur. Sementara empat kader putri yang setia mengikuti ditempatkan di sebuah rumah pinjaman. Salah satunya, Aida Chered, yang kemudian menjadi istri Abdullah Said. (Dari pernikahannya ini ia dikaruniai 7 anak: Saidah Abdullah Said, Ulfiah Su’adah Abdullah Said, Hizbullah Abdullah Said, Nashrullah Abdullah Said, Fathun Qorib Abdullah Said, Maftuhah Abdullah Said, dan Muntadzirizzaman Abdullah Said).
Akhirnya, mujahadah mereka membuahkan hasil. Seorang tokoh masyarakat, H. Andi Kadir Mappasossong, mewakafkan tanahnya seluas 0,5 hektar. Setelah tiga tahun, untuk pertamakalinya Pesantren Hidayatullah memiliki sebidang tanah. Bangunan yang pertama kali diwujudkan adalah mushalla.
Di tempat inilah setapak demi setapak mereka mulai mewujudkan rencananya. Dan, program-program pengembangan semakin padat dan nyata, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat.


Membuka Gunung Tembak

Melihat kondisi Karang Bugis yang sedemikian sempit, maka Abdullah Said berpikir keras untuk mendapatkan lokasi yang lebih luas. Setelah melakukan penjajakan, akhirnya pengurus pesantren menemukan tempat yang dianggap cocok. Lalu mereka bersama Walikota Balikpapan, H. Asnawie Arbain, menemui pemilik tanah. Lokasi seluas 5,4 ha ini diserahkan secara resmi oleh pemiliknya, Darman, pada 5 Maret 1976.
Saat mengetahui tanah itu untuk pesantren, orang tua itu menangis haru. Setelah pesantren sudah ramai dipenuhi santri yang berpakaian putih berduyun-duyun menuju tempat shalat, orang tua itu berkata kepada Abdullah Said, ''Sudah dua tahun lamanya saya bermimpi didatangi orang berpakaian putih dengan muka bercahaya. Sejak itu saya tidak pernah lagi makan nasi. Saya hanya makan buah-buahan dan minum air putih. Saya juga tidak tahu mengapa berbuat demikian. Hanya dalam hati saya ada perasaan bahwa ini pasti kebaikan yang akan muncul di tempat ini.'' *Manshur Salbu, Dadang Kusmayadi/Suara Hidayatullah









Ihwal 3
Mutiara Berserak dari Sang Pelopor


Sebuah pepatah berbunyi, “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama.” Namun meninggalnya orang-orang shaleh, memiliki dimensi lebih dari sekadar warisan nama dan benda.
Di bawah ini butiran-butiran mutiara (hikmah) dari Allahu yarham Ustadz Abdullah Said, pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah.

Kader

“Rasakan serta nikmati hal-hal yang tidak menyenangkan dalam perjuangan, maka akan mendapat kekuatan di dalam jiwa.”

Dakwah dan Kehidupan

“Keberhasilan dakwah seorang muballigh tidak ditentukan oleh banyaknya tepuk tangan dan pujian-pujian.”

“Ada kekeliruan yang sangat fatal di kalangan umat, bahwa Nabi Muhammad memilih hidup miskin itu diterjemahkan dengan hidup ideal yang islami adalah yang merana dan sengsara.”

“Jika nilai agama hanya diajarkan sebagai ilmu pengetahuan, tanpa diantar pada wujud pelaksanaan, itu merupakan suatu bencana besar yang menimpa umat Islam. Lebih besar bahayanya daripada gempa bumi yang menewaskan sekian jumlah orang dan menimbulkan kerugian miliaran rupiah.”

“Dakwah yang lebih didengar adalah dakwah yang didukung oleh pembuktian nyata, berupa peragaan dan praktik di lapangan pada diri dan keluarga.”

“Karena ketidakjelasan manhaj, kadang-kadang dakwah Islam tidak lebih sekadar hura-hura.”

“Dakwah bukanlah pekerjaan ringan, karenanya Allah tidak menitip amanah ini kepada sembarang orang.”

“Di atas kesulitan-kesulitan yang kita hadapi di lapangan perjuangan, ada janji-janji Allah yang sangat menggiurkan.”

“Setetes hidayah dari Allah, jauh lebih berarti dari berjilid-jilid buku yang ditulis oleh seorang penulis paling terkenal sekalipun.”


Kehidupan

“Ukuran sederhana keimanan seorang mukmin, dapat diketahui lewat kadar cintanya kepada Tuhan melebihi cintanya kepada yang lain.”

“Hidup sengsara adalah pabrik yang paling produktif untuk lahirnya ide-ide brilian.”


Persatuan dan Jamaah

“Jangan sampai kita terlalu memacu program pelayanan dan pengembangan lembaga, sementara kondisi barisan (shaf) dan jamaah dalam keadaan morat-marit.


Perputaran Roda Zaman

“Jangan hanya kagum dengan membaca sejarah yang telah dilakukan Nabi dan sahabat-sahabatnya, serta kecemerlangan pejuang-pejuang Islam di belakang beliau. Tapi kita juga harus berbuat sesuatu yang pantas dicatat sejarah.”

“Muballigh adalah seperti anak panah yang meluncur mencari sasaran. Jika muballigh melenceng niatnya, jangan harap akan berhasil memperbaiki umat.”

“Betapa tragisnya, kalau hanya untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang yang berjasa, lantas kita korbankan kekayaan yang kita miliki. Yakni keikhlasan.”

“Yang dibutuhkan yunior dari para seniornya adalah keteladanan, bukan perasaan ingin diistimewakan. Perlakuan sebagai orang yang istimewa, dapat melumpuhkan proses kaderisasi.”

“Allah memang Maha Pengampun, tetapi bukan berarti kita boleh seenaknya melakukan dosa.”


Syahadat

“Syahadat yang ideal adalah syahadat yang melahirkan kekuatan.”

“Sadar akan beratnya tugas khalifah, mestinya mendorong kita memperoleh kekuatan tambahan dengan meningkatkan mutu ibadah.”

“Orang yang bersyahadat tidak memerlukan apa yang orang umumnya kejar, dengan sangat mabuk dan penuh kegilaan, siang dan malam. Mereka sudah melampaui tahapan-tahapan seperti itu.”


Kampus dan Kehidupan Islami

“Alangkah sayang dan ruginya kita membikin kampus (pesantren) dimana-mana, kalau kehidupan yang ada di dalamnya sama dengan kehidupan di luar kampus.”


Al-Qur’an

“Kita dikucilkan orang karena kita tidak berqur’an, maka kita tidak diberi kekuasaan karena kita jauh dari Qur’an.”

“Faktor utama yang membuat kita tinggal di buntut-buntut peradaban dunia adalah karena kita tinggalkan Al-Qur’an.”

“Orang yang paling aniaya adalah mereka yang tahu Qur’an itu nyata-nyata wahyu, tapi ditolak.”

“Sebelum memulai langkah dakwah, yang pertama-tama harus diselesaikan adalah mengimani Al-Qur’an sebagai konsepsi kebenaran mutlak satu-satunya.”


Dzikir

“Seseorang pada saat tidak berada dalam bimbingan Allah, maka dia akan dijadikan (dibimbing) syetan.”

“Berjuang di jalan Allah adalah salah satu cara mengharapkan perlindungan Allah Swt dari ganasnya serbuan syetan.”


Shalat Lail

”Bagi mereka yang pernah melakukan shalat lail tentu merasakan dan mengakui adanya pertarungan yang sangat seru dan sengit dalam menghadapi godaan syetan dan pengaruh nafsu yang luar biasa kuatnya.”


Hijrah

“Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah, dia akan mendapatkan rezeki yang banyak dan kehidupan yang lapang.”


Iman dan Nafsu

“Perlawanan orang-orang yang beriman atas kaum tiran, menjadi dekorasi sejarah yang membuat hidup ini menjadi indah.”

“Ciri khas dari keberadaan iman adalah tidak mungkin mentolerir bentuk-bentuk kebatilan, bagaimanapun dia dipercantik.”

“Pada dasarnya iman bergerak atas dasar kerinduan kepada Allah, sedangkan nafsu bergerak atas dasar ambisi.”

“Akibat perjuangan yang digerakkan oleh hawa nafsu, bukan kemenangan yang yang didapatkan sesuai janji Allah. Bahkan modal kekuatan yang sekian lama menjadi kebanggaan pun lenyap, bertukar dengan rasa takut, cemas dan khawatir.”

“Format serta model orang yang bekerja karena iman, sudah ada ukurannya dalam Al-Qur’an. Hasil serta ujungnya pasti ada kesamaan.”

“Hanya bagi mereka yang merindukan Allah, yang sangat mengharapkan perjumpaan dengan Allah.”

“Tidak mungkin ada iman yang mengalah dan menyerah pasrah lalu diam dan berpangku tangan tanpa berbuat apa-apa.”

“Iman bukan suatu yang pasif dan netral, ia selalu aktif dan menghasilkan hal-hal positif.”

Shalat dan Do’a

“Berdoa berbeda dengan membaca doa.”

“Usai bertemu dengan Allah (shalat), hendaknya menghasilkan dua hal: semakin bertambah keyakinannya, dan siap melakukan tugas-tugas sebagai khalifatullah fil ardi.”

“Shalat nyaris ‘tidak ada gunanya’ bagi mereka yang tidak melaksanakan tugas tugas kekhalifahan di muka bumi.”

* Ali Athwa/Suara Hidayatullah



Aida Chered (istri almarhum Ustadz Abdullah Said)
Beliau Sosok Romantis

Pertemuannya saya dengan almarhum adalah sebuah anugerah dari Allah . Jalinan rumah tangga dengan beliau telah mengubah pandangan saya terhadap kehidupan. Pemahaman keislaman saya semakin bertambah, dan saya menemukan tujuan hidup yang hakiki.
Perkenalan saya dengan beliau diawali di sebuah acara pernikahan. Saat itu saya berusia 23 tahun. Ketika memberi khutbah nikah, banyak yang terkesima dengan materi yang disampaikannya. Saya penasaran untuk terus mengikuti pengajian-pengajian beliau.
Puncaknya ketika saya meninggalkan pekerjaan di Dinas Kesehatan Kota (DKK) untuk bergabung dengan beliau. Ketika itu kegiatan kami hanya belajar. Saya rela meninggalkan pekerjaan karena sudah lama ingin meningkatkan pemahaman keislaman.
Setelah dua tahun mengikuti pengajian tersebut, akhirnya saya dipersunting oleh beliau. Sejak itu, saya merasakan perubahan drastis dalam hidup sebagai seorang Muslimah. Sebagai seorang istri, saya harus siap mendampinginya dalam suka dan duka. Kebahagiaan saya saat itu bukan karena pelayanan istimewa dan berbagai fasilitas untuk sang suami, karena saat itu belum ada apa-apa. Makan saja susah. Tapi karena saya telah menemukan makna hidup, perjuangan yang kami jalani terasa nikmat, sehingga hampir tak terasa dukanya.
Untuk menambah pemahaman tentang perjuangan, saya senantiasa menyimak dengan serius setiap kali beliau memberikan pengajian. Ya, kadang-kadang saya itu disindir melalui ceramah. Maklum, beliau sangat sibuk, jadi kadang-kadang tidak sempat memberikan nasehat secara langsung.
Meski memiliki mobilitas tinggi, tapi bagi saya beliau adalah sosok yang romantis. Ia sangat perhatian kepada istri. Demikian juga ketika telah mempunyai buah hati. Beliau tidak luput memperhatikan perkembangan anak-anak.
Dalam hal shalat, misalnya, beliau sangat tegas. Beliau meminta untuk meninggalkan semua kegiatan dan segera mempersiapkan anak-anak untuk menunaikan shalat. Bahkan kalau ada tamu pun beliau minta untuk meninggalkan dulu tamu tersebut.
Saya sangat bersyukur meski waktu yang tersedia untuk anak-anak sangat sedikit, tapi beliau berusaha untuk bercengkrama dan bercanda dengan buah hatinya. Sekarang, saya tidak punya pola pendidikan secara khusus untuk pendidikan anak-anak. Tapi saya senantiasa memperkuat do’a agar anak-anak tumbuh sebagai anak yang shaleh dan shalehah. *Mujahid/Suara Hidayatullah


Ibu Atika, Juru masak awal di Gunung Tembak
Selalu Makan Bersama Santri

Ustadz Abdullah said sosok yang sangat pemberani. Ketika menumpang di rumah saya di Gunung Sari, beliau sempat dicari-cari polisi, tapi selalu luput. Setiap kali para polisi pulang, beliau kembali mengadakan pengajian yang berpindah-pindah, yang diikuti sekitar 30-an pemuda yang setia mengikuti pengajiannya.
Ketika hijrah ke Gunung Tembak, beliau selalu menikmati sajian yang disediakan, apa pun menunya.
Satu hal yang selalu terkenang oleh saya, beliau tidak pernah mau makan sendiri, ia selalu bergabung dengan para santri atau memanggil orang untuk makan bersamanya.
Demikian juga dalam memperlakukan orang lain, beliau selalu menyapa siapa saja, sehingga semua merasa diperhatikan. Beliau sangat perhatian kepada santrinya termasuk soal-soal yang kecil.
Misalnya, beliau kerap meminta saya membagikan sabun kepada para santri yang diletakkan di mangkuk-mangkuk kecil, lalu diletakkan di depan kamar masing-masing. *Mujahid/Suara Hidayatullah


Thoriqul Fajr, Pendamping Bagian Kerumahtanggaan.
Beliau Seorang Humoris

Beliau seorang yang humoris, sehingga saya merasa senang mendampingi beliau. Beliau pernah memarahi saya, tapi kemarahan itu tidak membuat saya kesal, karena setelah itu selalu dibawa bercanda.
Pernah suatu kali, saya memakai sepatu dengan merek terkenal dan lumayan mahal harganya. Sepatu saya itu sama dengan yang digunakan beliau. Lalu beliau pun menegur saya.
“Bagus juga sepatumu Thoriq?”
“Ah tidak Ustad, sama saja dengan sepatunya Ustadz.” Beliau tidak bisa menahan tawanya, lalu berkata, “Kalau saya kan dikasih orang.”
Rupanya sikap dan gaya saya merupakan hiburan tersendiri bagi beliau. Sampai akhirnya saya pun dinikahkan dengan keponakannya. *Mujahid/Suara Hidayatullah

click biar lengkap......

9/20/07

Ramadhan: Madrasah Pembentukan Mental


Ada yang menyatakan bahwa Ramadhan merupakan bulan pendidikan (syahr al-tarbiyyah). Tentunya ini bukan tanpa alasan. Karena secara realita, Ramadhan benar-benar edukatif. Ia dapat diibaratkan sebagai ‘madrasah’, lebih tepatnya sebagai training centre bagi qalbu-qalbu orang yang ingin menaiki “tangga-tangga ketakwaan”.

Tulisan sederhana ini akan mengulas secara sederhana, bagaimana Ramadhan membentuk mental orang-orang yang berpuasa di dalamnya. Jika ditilik dengan cermat, inti daripada puasa adalah “self control” (pengendalian diri). Artinya, Ramadhan mendidik para pelakunya menjadi orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya: nafsu perut dan nafsu syahwatnya. Lewat self control inilah puasa Ramadhan mampu membentuk beberapa mental positif.

Pertama, mental qana‘ah. Penulis berasumsi bahwa seluruh orang yang melaksanakan puasa memiliki pengalaman yang sama. Apa itu? Ketika waktu berbuka hampir tiba, nafsu makan begitu “menggebu-gebu”. Seluruh jenis makanan dan aneka ragam minuman ingin kita lahap seluruhnya. Namun apa yang terjadi? Ketika waktu buka telah tiba, yang dapat ‘diterima’ oleh perut besar (lambung) hanya satu gelas teh manis atau sirup dan satu potong roti. Lalu, ke mana ‘nafsu perut’ yang ketika sore itu begitu provokatif itu? Hilang. Sirna. Yang ada hanya rasa kenyang dan puas dengan satu gelas teh manis dan satu potong roti itu.

Artinya, puasa itu membentuk mental qana‘ah. Hiduplah apa adanya. Tidak usah terlalu memaksakan kehendak dan syahwat duniawi. Apa yang kita nikmati pada hakikatnya lebih sedikit dari apa yang kita miliki. Dan sejatinya, qana‘ah itulah yang disebut oleh Baginda Rasul SAW sebagai “kekayaan” tak akan pernah habis.

Kedua, mental muraqabah. Apa maksudnya? Orang yang berpuasa, selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. Inilah yang dikenal dengan sistem “waskat” (pengawasan melekat). Orang yang berpuasa benar-benar memiliki strong self-control. Allah selalu hadir di mana dan kapan saja. Logikanya, ketika seseorang – yang sedang berpuasa – mengambil air wuduk untuk melaksanakan shalat, bisa saja dengan gampang dan mudah ‘korupsi’ air wuduk. Atau, seorang ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk berbuka dapat melahap “kolak pisang” yang begitu menggoda dan menggiurkan. Tapi kenapa tak seorang pun berani melakukannya?! Karena Allah hadir dan mengawasinya. Bukankah puasa itu hanya ‘milik Allah’ dan hanya dia yang ‘mengganjarnya’? Ini dengan gamblang Dia proklamirkan dalam sebuah hadits Qudsi, “Seluruh amalan anak Adam (manusia) untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. ” (HR Bukhari).

Amalan (ibadah) yang sangat sulit ditembus oleh setan adalah “puasa”. Sehingga, yang mengetahui hakikat puasa itu hanya Allah dan si pelaku. Jika puasa itu milik Allah, seyogyanya orang yang berpuasa merasa muraqah Allah itu senantiasa menyertainya. Agar Allah benar-benar melihat dan mengganjar puasanya dengan sempurna. Jika mental muraqah ini tidak pernah dimunculkan, niscaya puasa pun dilakukan hanya sekedar “menggugurkan kewajiban”, tidak lebih.

Ketiga, mental ‘sabar’ berkata baik dan bertindak benar. Semua orang yang berpuasa merasakan bahwa Ramadhan itu seperti “rem pakem” kata-kata dan tindakan. Di bulan ini, orang tidak akan sembarangan alias asbun (asal bunyi) dalam berkata-kata. Semuanya benar-benar diperhitungkan. Dan ini salah satu sisi mental yang dibangun oleh puasa itu. Hal ini dijelaskan oleh Kanjeng Nabi SAW dalam sabdanya, “Sesungguhnya puasa itu bukan sekedar “tidak makan dan tidak minum” saja. Puasa itu adalah menahan mulut dan tindakan dari hal yang sia-sia dan keji. ” (HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim). Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga menyatakan, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkatan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak peduli dia tidak makan dan tidak minum. ” (HR Bukhari). Artinya, orang yang biasa berkata dusta ketika berpuasa, maka Allah tidak butuh kepada puasanya. Maka, puasanya menjadi sia-sia dan tak memberikan faedah apapun. Yang dipetik dari puasa seperti ini adalah apa yang diutarakan Rasul SAW, “Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. ” (HR Al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Keempat, mental ‘aji mumpung’. Bulan ini benar-benar bulan obral pahala. Maka sangat merugilah orang yang tidak menyadarinya. Yang harus dibangun di bulan yang penuh rahmat, maghfirah dan itqun min al-nar ini adalah “mental aji mumpung”. Ini lah kesempatan dan peluang emas yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Bayangkan, satu kebaikan dilipatkan-gandakan menjadi 70-700 kali lipat. Siapa yang tidak tergiur? Namun, bukan berarti mental ini menjadi mental apportunist.

Bayangkan, para hari kiamat nanti, bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi dari bau minya misik (kesturi) yang ada didunia ini. “Demi jiwa Muhammad yang ada dalam genggamannya! Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah pada hari kiamat daripada minyak misik. ” (HR Muslim).


Itulah beberapa mental yang coba ditumbuhkan dan dibangun oleh Ramadhan yang mulia ini. Semoga Ramadhan kali ini benar-benar dapat kita “raup” nilai-nilainya. Mari kita tanamkan dalam hati bahwa Ramadhan kali ini harus benar-benar menjadi ‘kolam ampunan dosa’. Karena sangat ini orang yang ditemui oleh Ramadhan, namun ketika Ramadhan itu kembali menghadap Tuhannya, dosa-dosanya belum diampuni. “Betapa hina seseorang jika Ramadhan datang, kemudian ia pergi, sedangkan ia belum diberi ampunan. ” (HR Al-Tirmidzi). Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [] (Medan, 6 Ramadhan 1428 H).




click biar lengkap......

6/8/07

Untukmu Penegak Kalimat Tauhid


DR. Yusuf Qorodhowi dalam sebuah khutbah Jum'atnya di masjid 'Umar bin Khattab, Dhoha, Qatar mengatakan adalah suatu yang lucu dan menyedihkan Amerika sebagai sebuah bangsa yang memproklamirkan dirinya sebagai penegak HAM mencantumkan batalyon syuhada Al Aqsho sebagai organisasi teroris. Lebih ironis lagi ketika Amerika melalui pemimpin negerinya mengatakan Ariel Sharon yang tangannya berluruman darah dalam membantai umat Islam, mempertahankan dirinya di tengah serangan teroris dan fundamentalis Hamas.Lebih jauh lagi DR. Yusuf Qorodhowi mengatakan, 'Itu sesuatu yang lucu tapi menyedihkan. Karena dengan sikap itu berarti Amerika menyamakan antara daging dan pisau, antara pembunuh dan yang dibunuh, antara korban pembantaian dan pelaku pembantaian. Kalau sikap ini yang dianggap sebagai teroris, Ya Allah jadikanlah aku sebagai orang-orang teroris...matikanlah aku sebagai teroris..dan kumpulkanlah aku bersama orang-orang teroris...'Semenjak invasi Isarel atas tanah suci Al Quds pada Mei 1948 dengan ditandai berdirinya negara Israel secara sepihak, sampai saat ini tak pernah berhenti memeras darah umat Islam Palestina. Dengan dalih merebut tanah yang dijanjikan menurut versi mereka, mereka menghalalkan membunuh anak-anak dan wanita Palestina dengan rasa penuh kebanggaan telah menjalankan ajaran kitab sucinya. Watak ketertutupan terhadap bangsa lain, sifat individualistis serta anggapan bahwa mereka merupakan bangsa pilihan, menimbulkan kebencian terhadap bangsa ini. Akibatnya mereka sering dikejar-kejar oleh penduduk asli setempat di manapun mereka menyebar di dunia ini. Dengan gerakan yang dinamakan Zionisme yang didirikan oleh Theodore Herzl yang pada tahun 1896, menyerukan kepada bangsa Yahudi untuk mendirikan negara Yahudi, di Palestina. Berbagai kelicikan telah dipertontonkan oleh bangsa yang satu ini. Dengan berpelayankan Amerika, mereka dengan santainya berteriak keseluruh dunia, bangsa Palestina adalah Teroris. Kenyataannya, Teroris teriak Teroris.Bom syahid yang dilancarkan oleh pemuda-pemuda Palestina nan gagah berani, sering kali dengan konspirasi besar dicap sebagai teroris fundamentalis. Teroris yang menyerang penduduk sipil Yahudi. Padahal tidak ada penduduk sipil Yahudi di Palestina krn seluruh anasir Yahudi adalah tentara. DR. Yusuf Qorodhowi kembali berkomentar tentang aksi bom syahid ini:'Orang yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri. Sementara pejuang ini mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya. Orang yang bunuh diri itu adalah orang yang pesimis atas dirinya dan atas ketentuan Allah, sedangkan pejuang ini adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju kepada rahmat Allah SWT.Orang yang bunuh diri itu ingin menyelesaikan dari dirinya dan dari kesulitannya dengan menghabisi nyawanya sendiri, sedangkan seorang mujahid ini membunuh musuh Allah dan musuhnya dengan senjata terbaru ini yang telah ditakdirkan menjadi milik orang-orang lemah dalam menghadapi tirani kuat yang sombong. Mujahid itu menjadi bom yang siap meledak kapan dan di mana saja menelan korban musuh Allah dan musuh bangsanya, mereka (baca: musuh) tak mampu lagi menghadapi pahlawan syahid ini. Pejuang yang telah menjual dirinya kepada Allah, kepalanya ia taruh di telapak tangan-Nya demi mencari syahadah di jalan Allah.'Sekarang adalah bagimana kita sebagai muslim menjalankan ukhuwwah yang selama ini kita teriakkan di mimbar-mimbar, di kajian-kajian, di tabligh akbar, bahwa sesungguhnya muslim itu adalah ibarat sebuah tubuh, yang apabila satu bagian dari tubuh tersebut merasakan suatu kesakitan maka bagian tubuh yang lain turut merasakannya. Apa yang sudah kita perbuat untuk saudara-saudara kita di Palestina. Bila saja seorang Yusuf Qorodhowi masih mengatakan, 'Aku masih belum menyerahkan diriku sepenuhnya terhadap perjuangan Islam, sebagaimana Imam Ghazali yang menyerahkan dirinya untuk islam; beliau hidup bersama ilmu dan amal. Usaha kita terlalu sedikit bila dibandingkan dengan usaha kaum Yahudi dalam menegakkan Negara Israel, terlalu sedikit bila dibandingkan dengan kaum Nasrani yang giat menyebarkan ajaran agama mereka. Perjuangan kita untuk menegakkan Islam belumlah ada apa-apanya'. Bagaimana dengan kita ?Saudaraku, Perjuangan masih panjang. Jalan berliku penuh onak masih akan kita jumpai. Darah yang keluar dari sela-sela jari kita mungkin akan keluar dari dada kita. Luruskan dan rapatkan barisan. Bersihkan niat dari segala kekotoran. Bisa jadi, kita tak merasakan waktu yang kita citakan, tetapi tongkat estafet haruslah tetap berjalan. Perteguh iman, pertajam kesadaran..Perbanyak 'perbekalan'... Jangan sampai kita kehabisan di tengah jalan. Saudaraku, Kematian bukanlah kehinaan. Kematian adalah keindahan dan kemuliaan. Persiapkan diri agar bumi Allah ini mau menerima kita. Allohu Akbar !!...Ya muslimun...ya muslimun...Ya muslimun...ya muslimun...Ya muslimun...ya muslimun...Jihad memanggil akankah kau bangun...Tataplah wajah-wajah saudara-saudara kita dalam ingatan dan do'a-do'amu. Sudahkah kita peduli kepada mereka ? Dan mengulurkan tangan memberikan kehangatan takkala baju-baju mereka habis menjadi penyeka darah dan panasnya matahari Gaza. Sudahkah kita tunjukkan ? Bahwa kita adalah saudara mereka, yang siap menjadi ayah mereka, kakak mereka, anak mereka, ibu mereka, takkala ayah, ibu, anak, kakak mereka tertembus timah panas dan terlindas deru kecongkakan tank ? Hanya karena mereka berkata : Ana Muslim....Allohu Akbar....Ataukah kita menjadi sebagian muslim dunia, yang tak ada sedetikpun terlintas nasib mereka. Sementara baju-baju kita melebihi apa yang kita butuhkan .Sementara kita bingung mau makan apa esok hari dan bukan makankah esok hari.Wahai saudaraku...Tahukah engkau bagaimana rasa bahagianya mati syahid ? Al-Bukhary mentakhrij dari Abu Hurairah r.a, dia berkata, 'Aku mendengar Nabi SAW bersabda, 'Demi yang diriku ada di tangan-Nya, sekiranya tidak ada orang-orang Mukmin yang tidak suka jika aku meninggalkan mereka dan aku tidak mendapatkan apa yang kubebankan kepada mereka, tentu aku selalu ikut dalam pasukan perang fi sabilillah. Demi diriku yang ada di tangan-Nya, aku benar-benar suka terbunuh di jalan Allah, kemudian aku dihidupkan lagi, lalu aku terbunuh lagi, lalu dihidupkan lagi, terbunuh lalu dihidupkan lagi, lalu terbunuh.'Al-Bukhary mentakhrij dari Aslam, dari Umar bin Khaththab r.a, dia pernah berkata, 'Ya Allah, berilah aku mati syahid di jalan-Mu, dan jadikanlah saat kematian di negeri Rasul-Mu.'Al-Isma'ily mentakhrij dari Hafshah Radhiyallahu 'Anha, dia menambahi riwayat di atas, 'Aku bertanya, 'Apa arti semua ini?' Beliau menjawab, 'Allah mendatangkannya pada hari kiamat menurut kehendak-Nya.' Begitulah yang disebutkan di dalam, 'Fathul-Bari', 3/71.Wahai saudaraku...Bosnia merintih dalam kesendirian...Qosova mengalir sungai-sungai merah...Palestin menjerit terhimpit konspirasi kecongkakan binatang Israel dan Amerika...Afghanistan dalam tekanan.....Indonesia dalam keterpurukan....Kashmir dalam penindasan....Wahai saudaraku...Siapkan apa yang ada yang kau mampu dan dapat kau tempuhMasukkanlah mereka dalam barisan do'a-do'a tahajjudmu...Berikan ruang hati kita Untuk saudara kita disana...




click biar lengkap......

Risalah Malam



Malam semakin larut. Hujan yang turun sejak senja tadi, menyisakan rintik-rintik kecil. Menambah sunyi sang malam. Menambah dingin angin malam. Membuat cahya rembulan menjadi remang. Sembunyi di balik kerumunan awan. Meninabobokan anak-cucu adam. Lelap dalam tidurnya. Hangat dalam selimutnya. Terbuai dalam mimpinya. Bergumam dalam igaunya. Suasana yang pernah digambarkan Al Ghazali dalam petikan syairnya : Di akhir malam yang makin kelamDi waktu tenang seisi alamAku berbaring di atas ranjang Bagaikan benda yang melayangMalam memasuki separuh masa. Sang purnama mulai berani manampakkan diri. Juga bintang-bintang. Kerlip silih berganti. Menghilangkan kepekatan malam. Memberikan kehidupan. Sebaik-baik kehidupan. Adakah anak-cucu adam yang tersadar? Bangun dari tidurnya? Merasakan kelezatannya? Ataukah mereka cukup puas dengan mimpinya. Hingga tak mendengar panggilan Rabb-Nya.Hai orang yang berselimut, bangunlah (untuk sholat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan. (QS Al Muzzamil : 1-4) Panggilan itu terdengar sayup. Namun menyusup dalam hembusan angin malam. Menemukan seorang yang menantinya. Yang mengharapkan pertemuan itu. Tanpa dialog panjang, bergegas ia bangkit. Dengan kerinduan yang memuncak. Ia bergegas membersihkan diri. Kemudian larut dalam munajatnya. Mencurahkan isi hati. Menyesali kealpaan diri. Mengharapkan ampunan Rabbi.'...Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir'. (QS Al Baqarah : 286)Ayat demi ayat dalam kitab suci mengalir. Dari lisannya yang lembut. Dari suara hatinya yang bening. Memberikan ketenangan jiwa. Menciptakan kepekaan bathin. Membuang jauh urusan duniawi. Melebur dalam firman-firmanNya yang agung. Hingga suatu saat tubuhnya berguncang hebat. Diiringi oleh isak tangis yang mendalam. Tatkala sekelebat bayangan neraka jahannam nampak di hadapannya... Maka kecelakaan yang besarlah di hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, (yaitu) orang-orang yang bermain-main dalam kebatilan, pada hari mereka didorong ke neraka Jahanam dengan sekuat-kuatnya. (Dikatakan kepada mereka): 'Inilah neraka yang dahulu kamu selalu mendustakannya'. (QS At Thur : 11-14)Jahannam... mungkin tiada yang mampu membayangkan pedih siksanya. Termasuk dirinya. Namun jika membayangkan kotornya hati, lumuran dosa, dan lembaran dusta yang pernah diperbuat, siapa yang menjamin tidak akan menjadi penghuninya ?Untaian kalam ilahi terus mengalir. Isaknya mulai reda. Bahkan tidak tampak lagi. Semburat senyum tipis kini menghias wajahnya yang teduh. Seolah ia sedang merasakan kenikmatan yang luar biasa. Andai kita tahu apa yang tengah dirasakannya. Namun hanya dia dan Rabbnya yang tahu. Hanya rahasia kecil yang kita tahu. Bahwa kelezatan yang ia rasakan terkait dengan ayat Qur'an yang sedang dilantunkannya... Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam surga dan kenikmatan, mereka bersuka ria dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka; dan Tuhan mereka memelihara mereka dari azab neraka. (Dikatakan kepada mereka): 'Makan dan minumlah dengan enak sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan', mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli. (QS At Thur : 17-20)Surga... ingin rasanya menjadi penghunimu. Tapi layakkah? Makan dan minum dengan hidangan yang terlezat dan selalu tersedia? Bersenda gurau dengan bidadari-bidadari nan cantik bermata jeli?Malam mulai memasuki penghujungnya. Rembulan memberi isyarat untuk berpamitan. Malam itu Sang penanti benar-benar menemukan penantiannya. Dan akan selalu menantikannya kembali. Saat-saat terindah dengan Sang Rabbi pun harus berlalu. Namun ia memiliki energi baru. Untuk membuka lembaran pagi yang baru. Untuk menjalani tugasnya sebagai khalifah bumi. Mencari nafkah untuk anak isteri. Mengajak umat ke jalan ilahi.Tatkala bangkit dari tikar panjangnya, tampak sesosok wanita di belakangnya. Sang istri tercinta. Yang sejak tadi menyertainya. Dalam isak tangisnya. Dalam semburat senyumnya. Wanita itu menggapai tangannya. Mencium erat jemarinya. Menatapnya lekat. Penuh cinta. Sarat makna. Bidadari dunia telah menyambutnya, dan bidadari surga tengah menantinya...



click biar lengkap......

Nikmatnya Menjadi Mukmin




"Sungguh heran terhadap perihal seorang Mukmin, semua urusannya membawa kebaikan kepadanya dan hal tersebut tidak dimiliki oleh seorangpun selain orang mukmin. Jika mendapat kegembiraan, ia bersyukur dan itu membawa kebaikan baginya. Jika mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu juga membawa kebaikan baginya." (H.R. Muslim)Seorang mukmin pada hakekatnya tidak pernah mengalami kegundahan hati, baik ketika diberi kenikmatan maupun diberi cobaan. Kenikmatan yang telah diberikan Allah Swt, bagi seorang mukmin, akan menimbulkan rasa haru bercampur bahagia dan memanjatkan rasa syukur dan mengucap "Alhamdulillahi-Robbil-‘alamin" dan itu akan membawa kebaikan baginya. Berbeda dengan orang yang kurang rasa syukurnya kepada Allah Swt, yang jika telah diberikan rezeki yang melimpah dari Allah maka mereka kebanyakan akan berpaling dari Allah, seperti disinggung dalam Surah Fusshilat Ayat 49-51 :"Manusia (yang kafir) itu tidak jemu meminta kebaikan, jika kesusahan menimpa dia, maka (ia) putus harapan. Dan jika Kami rasakan kepadanya saru rahmat dari Kami, sesudah kesusahan yang mengenainya, niscaya ia berkata, "Ini buatku, dan aku tidak percaya akan terjadinya Hari Kiamat dan jika andakan aku dikembalikan kepada Tuhanku maka sesungguhnya adalah bagiku disisi-Nya (pemberian-pemberian) yang baik. Tetapi Kami sesungguhnya akan beritahu kepada mereka yang kafir itu apa-apa yang telah mereka kerjakan, dan sesungguhnya Kami akan rasakan kepada mereka azab yang keras. Dan apabila Kami beri nikmat atas manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri tapi bila dia dikenai kesusahan, maka ia mempunyai permintaan yang panjang (lebar)." Dan sebaliknya, seorang mukmin yang diberi musibah seperti mengalami kesusahan dalam mencari sesuap nasi, akan bersabar. Dan kesabarannya ini akan memperoleh hasil berupa pahala disisi Allah Swt. Bagi seorang mukmin yang telah menyerahkan hati, tubuh dan jiwanya hanya kepada Allah Swt semata, ketidakmampuannya atau kesulitannya dalam mencari rezeki selama ini akan membuahkan nikmat tersendiri yang akan sulit dibayangkan oleh orang yang tidak mengerti akan hikmah kehidupan. Seorang Mukmin yang sejati akan berfikir bahwa kesusahan yang dialaminya tidaklah sebanding dengan kenikmatan yang diperolehnya dari Allah Swt. Mereka mempunyai keyakinan yang kuat bahwa segala sesuatu yang terjadi pada dirinya merupakan kehendak Tuhannya, Yang Maha Pemelihara. Sungguh banyak Nikmat Allah Swt yang telah diberikan kepada manusia, yang sebahagian kecilnya adalah :
Nikmat Naluri, tanpa naluri yang diberikan-Nya, mungkin manusia tidak akan ada didunia ini. Naluri inilah yang membimbing seorang bayi untuk berkomunikasi melalui tangisan sehingga didengar oleh ibu atau orang yang dekat dengannya. Tanpa naluri berupa tangisan ini, bayi tersebut mungkin sudah lama mati.
Nikmat Panca Indera, berupa mata, telinga, hidung, lidah dan lain sebagainya.
Nikmat Akal, yang membuat kita mampu berpikir sehingga kita bisa mengetahui segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, yang memiliki batasan menurut kemampuan seseorang.
Nikmat kebebasan berbuat, dimana manusia bisa bebas melakukan sesuatu menurut kehendaknya.
Nikmat Agama yang berupa Petunjuk kejalan yang lurus, berupa mukjizat Allah yang diberikan kepada Rasulullah Saw, berupa Al-Quran dan sunah Nabi, yang merupakan nikmat tertinggi, pedoman bagi kita untuk menempuh kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
Nikmat ampunan dari-Nya, segala dosa yang telah kita perbuat, akan diberikan keampunan oleh Allah Swt dengan jalan tobat, kecuali Syirik.
Nikmat ciptaan-Nya berupa binatang dan buah-buahan, yang dengannya manusia bisa memperoleh makanan dan kesehatan.
Dan nikmat-nikmat lainnya yang tidak terhitung banyaknya. Dan dari sekian banyak nikmat yang telah diberikan oleh Allah Swt tersebut, bagi seorang mukmin, nikmat yang paling besar manfaatnya adalah nikmat berupa Agama. Salah satunya adalah Nikmat Sholat. Mengapa Sholat memiliki kenikmatan yang luar biasa? Bagi kita yang tidak memahami hikmah dibalik Sholat tersebut, maka berpendapat bahwa sholat itu hanya merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Tetapi bagi kita yang memahami arti dari Sholat tersebut akan menikmatinya dengan penuh kekhusukan.
Untuk mengetahui salah satu nikmat sholat yang diperoleh adalah dengan memahami makna sebahagian surat Al Fatihah. Cobalah kita pelajari salah satu hadist Qudsi yang disampaikan Rasulullah melalui menantunya, Ali bin Abi Thalib yang mengatakan, Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah Swt berfirman :"Aku membagi surah Al Fatihah menjadi dua (2) bagian, setengah bagian untuk-Ku, setengah bagian lainnya untuk Hamba-Ku, apa yang dimintanya akan aku perkenankan, bila ia membaca Bismillahirrahmanir-rahim, Allah Berfirman, "Hamba-Ku memulai pekerjaannya dengan menyebut nama-Ku, maka menjadi kewajibanku untuk meyempurnakan seluruh pekerjaannya serta Kuberkati seluruh keadaannya. Apabila ia membaca, Al-hamdulillahi Rabbil-alamin, Allah menyambutnya dengan berfirman, "Hamba-Ku mengetahui bahwa seluruh nikmat yang dirasakannya bersumber dari-Ku, bahwa ia telah terhindar dari malapetaka karena kekuasaan-Ku. Aku mempersaksikan (wahai para malaikat), bahwa Aku akan menganugerahkan kepadanya nikmat-nikmat di akhirat, disamping nikmat-nikmat duniawi dan akan Kuhindarkan pula ia dari malapetaka ukhrawi dan duniawi." Apabila ia membaca, Ar-Rahmanir-Rahim, Allah menyambutnya dengan berfirman, "Aku diakui oleh hamba-Ku sebagai pemberi Rahmat dan sumber segala rahmat. Kupersaksikan kamu (wahai para malaikat) bahwa akan Aku curahkan rahmat-Ku kepadanya, sehingga sempurna dan akan kuperbanyak pula anugerah-Ku." Apabila ia membaca, "Malikiyaumid-din, Allah menyambutnya dengan berfirman, "Kupersaksikan kamu wahai para malaikat, sebagaimana diakui oleh hamba-Ku, bahwa Akulah Pemilik Hari Kemudian, maka akan Aku permudah baginya perhitungan dihari itu, akan Kuterima kebaikan-kebaikannya dan Kuampuni dosa-dosanya." Apabila ia berkata, Iyyaka na’budu, Allah menyambutnya dengan berfirman, "Benar apa yang diucapkan hamba-Ku, hanya Aku yang disembahnya. Kupersaksikan kamu semua, akan Kuberi ganjaran atas pengabdiannya, ganjaran yang menjadikan semua yang berbeda ibadah dengannya akan iri dengan ganjaran itu." Apabila ia membaca wa-iyyakanasta’in, Allah berfirman, "Kepada-Ku hamba-Ku meminta pertolongan dan perlindungan. Kupersaksikan kamu pasti akan Kubantu ia dalam segala urusannya akan Kutolong dia dalam segala kesulitanya, serta akan Kubimbing dia pada saat-saat krisisnya." Apabila ia membaca, "Ihdinash-shiratal mustaqim, Allah menyambutnya dengan berfirman, "Inilah permintaan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dimintanya telah Kuperkenankan bagi hamba-Ku permintaannya, Kuberikan apa yang diharapkannya, Kutenteramkan jiwanya dari segala yang mengkhawatirkannnya."Sungguh memang Allah Swt pemberi nikmat terbesar di alam raya ini. Memang patutlah kita sebagai seorang mukmin, tidak diperbolehkan berkeluh kesah dalam menghadapi segala macam cobaan. Tetapi, Apakah ada kenikmatan atau kebaikan yang dirasakan oleh seorang Mukmin yang ditinggal mati oleh salah seorang keluarga yang dicintainya? Untuk kejadiannya ini, ada menariknya jika kita mengutip suatu pelajaran dari sebuah buku yang berjudul "Memoar Hasan Al-Banna", dimana dikisahkannya sebagai berikut, "Pada saat menjelang perayaan peringatan Maulid Nabi, setiap malam sejak tanggal 1 hingga 12 Rabi’ul Awwal, secara berombongan dan bergiliran kami selalu mengunjungi rumah salah seorang ikhwan. Malam itu, tibalah giliran rumah Syaikh Syalbi Ar-Rijal yang menjadi jadwal kunjungan. Kami pun berangkat seperti biasanya, setelah Sholat Isya. Saya melihat rumah Syaikh Syalbi sangat terang, bersih dan rapi. Dihidangkanlah serbat, kopi dan girfah seperti biasanya. Kami duduk dan meminta nasehat-nasehat Syaikh Syalbi. Ketika kami hendak pergi, ia berkata dengan senyum lembut, "Datanglah kalian besok pagi-pagi sekali, agar kita bisa menguburkan Ruhiyah bersama-sama." Ruhiyah adalah putrid beliau satu-satunya. Allah menganugerahkan Ruhiyah kepadanya kurang lebih 11 tahun dari usia pernikahannya. Ia mencintainya sehingga tidak pernah meninggalkannya sekalipun walau sedang sibuk bekerja. Ruhiyah kemudian tumbuh menjadi seorang remaja. Ia manamainya Ruhiyah karena putrinya ini menempati kedudukan "ruh" pada dirinya. Tentu kami terperanjat dan berkata, "Kapan ia meninggal?" Tanya kami spontan. "Tadi menjelang maghrib!" jawabnya tenang. "Kenapa Syaikh tidak memberitahukan kepada kami sejak tadi, sehingga kami dapat mengajak kawan yang lain untuk kemari bersama-sama." Ia menjawab, "Apa yang terjadi telah meringankan kesedihanku. Pemakaman telah berubah menjadi peristiwa yang membahagiakan. Apakah kalian masih menginginkan Nikmat Allah yang lebih besar lagi daripada nikmat ini?" Subhanallah, semoga Allah Swt memberi tempat kepada Syaikh tersebut ditempat yang sebaik-baiknya. Amin… (edi/aol)
Risalah Malam
Penulis: Faruq
Malam semakin larut. Hujan yang turun sejak senja tadi, menyisakan rintik-rintik kecil. Menambah sunyi sang malam. Menambah dingin angin malam. Membuat cahya rembulan menjadi remang. Sembunyi di balik kerumunan awan. Meninabobokan anak-cucu adam. Lelap dalam tidurnya. Hangat dalam selimutnya. Terbuai dalam mimpinya. Bergumam dalam igaunya. Suasana yang pernah digambarkan Al Ghazali dalam petikan syairnya : Di akhir malam yang makin kelamDi waktu tenang seisi alamAku berbaring di atas ranjang Bagaikan benda yang melayangMalam memasuki separuh masa. Sang purnama mulai berani manampakkan diri. Juga bintang-bintang. Kerlip silih berganti. Menghilangkan kepekatan malam. Memberikan kehidupan. Sebaik-baik kehidupan. Adakah anak-cucu adam yang tersadar? Bangun dari tidurnya? Merasakan kelezatannya? Ataukah mereka cukup puas dengan mimpinya. Hingga tak mendengar panggilan Rabb-Nya.Hai orang yang berselimut, bangunlah (untuk sholat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan. (QS Al Muzzamil : 1-4) Panggilan itu terdengar sayup. Namun menyusup dalam hembusan angin malam. Menemukan seorang yang menantinya. Yang mengharapkan pertemuan itu. Tanpa dialog panjang, bergegas ia bangkit. Dengan kerinduan yang memuncak. Ia bergegas membersihkan diri. Kemudian larut dalam munajatnya. Mencurahkan isi hati. Menyesali kealpaan diri. Mengharapkan ampunan Rabbi.'...Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir'. (QS Al Baqarah : 286)Ayat demi ayat dalam kitab suci mengalir. Dari lisannya yang lembut. Dari suara hatinya yang bening. Memberikan ketenangan jiwa. Menciptakan kepekaan bathin. Membuang jauh urusan duniawi. Melebur dalam firman-firmanNya yang agung. Hingga suatu saat tubuhnya berguncang hebat. Diiringi oleh isak tangis yang mendalam. Tatkala sekelebat bayangan neraka jahannam nampak di hadapannya... Maka kecelakaan yang besarlah di hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, (yaitu) orang-orang yang bermain-main dalam kebatilan, pada hari mereka didorong ke neraka Jahanam dengan sekuat-kuatnya. (Dikatakan kepada mereka): 'Inilah neraka yang dahulu kamu selalu mendustakannya'. (QS At Thur : 11-14)Jahannam... mungkin tiada yang mampu membayangkan pedih siksanya. Termasuk dirinya. Namun jika membayangkan kotornya hati, lumuran dosa, dan lembaran dusta yang pernah diperbuat, siapa yang menjamin tidak akan menjadi penghuninya ?Untaian kalam ilahi terus mengalir. Isaknya mulai reda. Bahkan tidak tampak lagi. Semburat senyum tipis kini menghias wajahnya yang teduh. Seolah ia sedang merasakan kenikmatan yang luar biasa. Andai kita tahu apa yang tengah dirasakannya. Namun hanya dia dan Rabbnya yang tahu. Hanya rahasia kecil yang kita tahu. Bahwa kelezatan yang ia rasakan terkait dengan ayat Qur'an yang sedang dilantunkannya... Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam surga dan kenikmatan, mereka bersuka ria dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka; dan Tuhan mereka memelihara mereka dari azab neraka. (Dikatakan kepada mereka): 'Makan dan minumlah dengan enak sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan', mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli. (QS At Thur : 17-20)Surga... ingin rasanya menjadi penghunimu. Tapi layakkah? Makan dan minum dengan hidangan yang terlezat dan selalu tersedia? Bersenda gurau dengan bidadari-bidadari nan cantik bermata jeli?Malam mulai memasuki penghujungnya. Rembulan memberi isyarat untuk berpamitan. Malam itu Sang penanti benar-benar menemukan penantiannya. Dan akan selalu menantikannya kembali. Saat-saat terindah dengan Sang Rabbi pun harus berlalu. Namun ia memiliki energi baru. Untuk membuka lembaran pagi yang baru. Untuk menjalani tugasnya sebagai khalifah bumi. Mencari nafkah untuk anak isteri. Mengajak umat ke jalan ilahi.Tatkala bangkit dari tikar panjangnya, tampak sesosok wanita di belakangnya. Sang istri tercinta. Yang sejak tadi menyertainya. Dalam isak tangisnya. Dalam semburat senyumnya. Wanita itu menggapai tangannya. Mencium erat jemarinya. Menatapnya lekat. Penuh cinta. Sarat makna. Bidadari dunia telah menyambutnya, dan bidadari surga tengah menantinya...


click biar lengkap......

Ketika Da'wah Terasa Sendirian...



Dalam sebuah pertemuan rutin, seorang aktivis 'mengeluhkan' segala yang membuat gundah perjalanan da'wah yang digelutinya. Begitu banyak yang disampaikan dari perasaan bekerja (dalam da'wah) sendiri sampai tak melihat hasil yang dilakukannya. Sang ustadz hanya tersenyum dibalik keseriusannya mendengarkan penuturan aktivis tersebut.Dalam perjalanan hidupnya dakwah memang selalu bertemu dengan yang namanya sunnatulloh. Tak peduli ia ada di desa-desa terpencil, di perkotaan, di rumah-rumah maupun di perkantoran sekalipun. Tak kala ia dilandasi oleh keikhlasan diri dan tujuan yang suci, sungguh tak ada rintangan sebesar apapun yang dianggap kecil dan tak ada halangan kecil pun yang dianggap besar. Semua dihadapi dengan kesungguhan hati karena pada setiap da'I yang terlibat di dalamnya telah terbina sebelumnya dengan segala kemungkinan yang terjadi. Selangkah hambatan bisa saja itu merupakan lompatan yang jauh kedepan. Walaupun tak jarang lompatan yang jauh kedepan seringkali membuat kita terjatuh dan mundur kebelakang. Dan memang, tugas menyampaikan dan menjadi ispirator dan inisiator penggerak ummat bukan hanya terletak pada pundak seorang ustadz atau 'ulama. Justru tugas itu berada pada pundak kita semua sebagai muslim.'Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.' (Qs. 3:104)Walaupun demikian Allah SWT tidak membiarkan da'wah itu berjalan dengan apa adanya. Allah SWT telah memberikan perangkat berupa petunjuk dalam menjalani da'wah yang benar. Allah SWT berfirman :'Katakanlah: 'Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik'. (Qs. 12:108)Ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik dalam surat tersebut, diantaranya adalah :Membuat garis demarkasi dalam diri kita antara Al Haq dengan Al Bathil. Dalam surat Yusuf tersebut, kita diperintahkan untuk memisahkan antara yang haq dan yang bathil : katakanlah :'Ini jalan (agama) ku..., sehingga secara tidak langsung Allah SWT memerintahkan kita untuk membenahi diri kita terutama aqidah kita dan membuat garis demarkasi antara kita sebagai penegak da'wah dengan kebathilan itu sendiri. Dan pembenahan diri ini hanya dapat dilakukan dengan pembinaan diri secara menyeluruh dan integral secara berkesinambungan. Proses pembinaan yang beraspek kepada pemurnian aqidah yang shohih, pendalaman keilmuan, perluasan wawasan keislaman dan peningkatan akhlakul karimah dalam keseharian.Mengajak kepada Allah SWT Kalimat berikutnya adalah kita diperintahkan mengajak kepada Allah SWT bukan kepada yang lainnya, bukan kepada kita atau bukan kepada golongan kita. Karena dalam kenyataannya berapa banyak da'i yang merasa 'sakit hati' tak kala orang yang diajaknya tidak mau mengikutinya. Sehingga kita diperintahkan untuk bersabar dan memiliki keikhlasan yang tinggi, karena kata perintahnya (Fi'il) menggunakan fi'il mudhori' artinya istimroriyyah atau berkelanjutan dan terus menerus. Dalam masyarakat terlihat sekali hal ini ketika masa-masa pemilu dilaksanakan. Begitu banyak yang terkecoh untuk mengajak orang lain kedalam partainya dengan mengangkat kepartaiannya bukan nilai yang dibawanya. Hendaknya kita melihat nilai-nilai apa yang diasung oleh partai tersebut. Apakah nilai-nilai Islam ataukah hanya fatamorgana tujuan sesaat.Menggunakan dalil dan faktaHujjah yang kita sodorkan pun harus baik dan benar. Ketika mereka berlogika, kita pun diperbolehkan berlogika selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Karena tidak semua dalam Islam itu dapat dilogikakan. Dalam dakwahpun kita harus memiliki cara-cara yang baik. Allah SWT sudah mengajarkan kita bahwa dakwah harus dilakukan dengan lemah lembut, dengan hikmat dan bukan dengan kekerasan. Kenapa ? karena ada beberapa diantara kita yang mungkin salah mengartikan bahwa muslim itu keras terhadap orang kafir. Bagaimana mungkin mereka (orang-orang kafir) dapat tertarik dengan ajakan kita sementara kita menghujat mereka. Keras disini maksudnya adalah dalam segi aqidah... Ingatlah akan surat al Kafirun. Tetapi takkala apa yang menjadi hak dan kehormatan kita sebagai muslim di ganggu, barulah Islam membolehkan dan bahkan mewajibkan kita untuk memerangi mereka. Disinilah pemahaman akan mencintai dan membenci karena Allah akan teruji. Kita berhak dan harus mengatakan : SAYA MUSLIM.Membuat barisan dan jaringan da'wah Dalam dakwahpun kita juga diperintahkan untuk menggalang persatuan dalam barisan yang kokoh. 'aku dan orang-orang yang mengikutiku'.Di sini harus ada keseragaman visi dan misi yaitu menegakkan kalimatulloh semata. Ingat perkataan sahabat Ali bin Abi Tholib R.A bahwa kebenaran yang melanggar peraturan akan dapat dikalahkan oleh kebathilan yang mengikuti peraturan. Dan dalam surat yang lain, yaitu surat Ash Shaff ayat ke 4 Allah SWT sangat mencintai orang-orang yang berjuang dalam sebuah barisan laksana bangunan yang kokoh.Berfokus kepada proses bukan kepada hasil Lalu apa yang keluar dari seorang da'i ketika ia berjuang menegakkan kalimat Allah SWT ? Tak ada kata lain kecuali perkataan yang baik, SubhanAllah Maha Suci Allah SWT. Artinya bahwa segala apa yang terjadi adalah karena kehendak Allah SWT. Ketika orang mengikuti kita itu karena kehendak yang Allah SWT limpahkan dan bukan karena usaha kita semata sehingga tidak ada rasa takabbur atau sombong dalam diri kita. Begitu juga ketika orang melecehkan kita, bagi seorang da'i itu hanyalah hikmah yang dapat diambil pelajaran baginya, diantaranya, bahwa bukan kita (da'i) yang dapat memberikan hidayah tapi hanya Allah yang dapat memberikan hidayah. Juga memberikan pelajaran kepada kita bahwa kita harus memperbaiki cara-cara yang mungkin selama ini salah dalam penerapannya.Berpegang teguh kepada Al Islam sampai ajal menjemputAkhirnya, apa yang kita lakukan itu semakin membulatkan hati dan aqidah kita kepada Allah SWT. Yaitu dengan perkataan :…dan tiada aku termasuk orang-orang yang musyrik... Tidak ada yang patut kita sembah, kita taati, kita ikuti kecuali Allah SWT. Kita akan semakin menyadari konsekuensi syahadat yang kita ucapkan dan akan senantiasa terhujam dalam diri kita kebenaran dalam lindungan Allah SWT.Wallohu a'alam.


click biar lengkap......